Tuesday, October 23, 2007

Debata Bukan Tuhan?


SAYA memberi tanda kutip pada “?” untuk judul di atas, karena saya memang tidak meragukan kalau Debata itu adalah Tuhan. Persoalannya, banyak orang yang “maniak agama”, entah agama apapun itu, lebih melihat sisi agama dari simbol-simbolnya saja. Sebutan-sebutannya saja. Aturan-aturan doktrinnya saja, tanpa pernah meresapi sedalam apa esensi ajaran agama itu sejatinya.

Ada Segolongan orang Kristen yang mengharamkan adat istiadat, khususnya adat Batak. Kenapa? Menurutnya, karena adat istiadat Batak itu lahir dari manusia-manusia terdahulu, leluhur orang Batak, yang masih atheis. [dalam hal ini, “segolongan” orang yang saya sebut itu mungkin belum menyadari kalau pola pikir manusia akan berkembang sesuai kemajuan zamannya].

Satu soal yang hingga kini masih membuat saya tak habis mengerti, ketika lagu Kumbaya My Lord dilarang dinyanyikan. Dulu saya suka sekali dengan lagu ini. Penasaran terhadap pelarangan itu, saya lalu bertanya kepada anggota “segolongan” ini. Ironis, jawabannya sama seperti ketika mereka “mengharamkan” adat Batak. Katanya, Kumbaya itu adalah nama [sebutan] untuk tuhan orang-orang di Afrika sana.

“Lha?!”

Saya bengong dan tidak habis mengerti. Itukan sebutan [bahasa] orang sono dalam menyebut Tuhan, sama seperti bahasa Batak, Debata, untuk menyebut Tuhan. Apanya yang salah? Ungkapan “debata” bagi orang Batak pada zaman nenek moyang adalah sebutan kepada tuhan Debata Mulajadi Na Bolon. Orang Batak belum mengenal agama Kristen dan Islam.

Tapi, si kawan “segolongan” itu dengan enteng menjawab; “Lagu Kumbaya itu adalah nyanyian penyembahan orang Afrika kepada tuhan berhala”.

Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban itu.

“Lalu, sebutan untuk Tuhan [Allah] bagi orang Afrika dan orang Batak, apa dong bahasanya? Memangnya masih ada “bahasa” lain untuk menyebut Tuhan [Allah] selain Debata dan Kumbaya bagi kedua umat ciptaan Tuhan ini?” sergahku mulai merasa aneh melihat si Kawan “segolongan” itu.

Si Kawan “segolongan” terdiam. “Itu kan cuma sebutan [bahasa], sama seperti orang bule menyebut God atau Lord untuk Tuhan [Allah],” lanjutku menanggapi si kawan “segolongan” itu. Mungkin aku juga sok tahu banget.

Saya bukan seorang ahli teologia, dan bukan pula anti kepada si kawan “segolongan” itu. Tapi, saya kurang bisa menerima teman atau sesamaku manusia terlalu fanatik dengan doktrin agama [pada blog ini sudah sering sekali dibahas dan dikomentari tentang doktrin agama ini].

Itu kan hanya sebutan, bahasa. Kenapa jadi terjebak kepada hal-hal yang berbau simbol-simbol? Sama halnya dengan sebagian Saudaraku yang beragama Islam, yang fanatiknya gak ketulungan. Terlalu cepat emosi kalau ada seseorang dianggap melecehkan simbol-simbol itu. Sebagai contoh (mungkin), seorang penjual cabe membuat kertas bertuliskan Arab jadi pembungkus cabenya. Padahal, tulisan Arab itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Al Qur’an. Hanya secarik kertas bertuliskan aksara Arab, mungkin tentang cerita Abunawas. Saudaraku “segolongan” yang melihat itu pasti kontan marah. Bahkan mungkin akan menjadi hiperbola sehingga memancing saudaranya “segolongan” mencari penjual cabe untuk di ”jihad” rame-rame.

Kawan dan Saudaraku “segolongan” ini rasa ketersinggungannya sangat sensitif dan akan bisa berubah sangat radikal. Si Kawan “segolongan” akan dengan mudah menghakimi orang sebagai; “pendosa!”. Si Saudaraku “segolongan” ini akan dengan lantang meneriakkan; “pengkhinaan!”. Padahal, sebagai manusia yang cuma ciptaan semata tak seorangpun yang luput dari kesalahan dan kesalahan. Saya jamin tidak ada manusia yang sempurna selain Allah itu sendiri.

Jadi, saya melihat semua ini tak lebih dari usaha pembenaran doktrin-doktrin agama yang “tertelan” bulat-bulat untuk pembenaran keyakinannya. Itu sah-sah saja semasih kita tetap bisa menyeimbangkan pemikiran terhadap segala perbedaan. Tidak lantas ekstrim total! Karena kita jangan lupa; Tuhan hanya satu, Sang Khailik, Pencipta nan Maha Kuasa. Kristen dan Islam, bahkan mungkin agama lain “sepaham” mengatakan; Pencipta bumi dan segala isinya (terutama manusia) adalah satu oknum, yang disebut Tuhan [Allah]. Namun, ketika doktrin agama sudah mulai bicara, maka kehakikian Sang Pencipta tadi jadi absurd. Tidak jelas. Karena manusia “doktrin” telah merubah dirinya jadi “maha tahu”, dan kadang seperti lebih tahu dari Sang Khailik itu sendiri. Yang satu mengatakan mereka paling benar. Yang satunya lagi membantah, merekalah yang paling benar.

Anehnya, mereka mengklaim, Allah itu cuma Allah mereka. “Allah-mu tidak sama dengan Allah-ku” – Lha...?! Bukankah manusia yang saling bersitegang urat leher itu hidup di dunia yang sama? Lantas, Allah siapa sebenarnya yang menciptakan bumi dan segala isinya ini? Emangnya, yang menciptakan bumi dan segala isinya ada 2 atau 3 allah? Bisa berantem dong allah-allah itu karena berebut lahan waktu penciptaan? (maaf, saya jadi tertawa membayangkan). Gimana, ya, kalau betul-betul ada dua allah yang menciptakan bumi dan segala isinya ini? Ini kan konyol! Kalau sudah ada pengkotak-kotakan begitu, lantas manusia lainnya muncul dari mana? Kok, bisa tinggal di dunia ini?

Melalui tulisan “ecek-ecek” ini, saya hanya ingin berbagi pemikiran agar kita tidak jadi terjebak kedalam doktrin-doktrin agama yang penuh dengan simbol-simbol, sebutan-sebutan, dan aturan-peraturan pelembagaan agama itu. Saya selalu berprinsip; saya itu ke Surga atau ke Neraka bukan karena si “A” atau si “B”. Tapi karena Kemurahan, Kasih, dan Cinta dari Sang Pencipta [Allah] karena perbuatan-perbuatan baik saya selama hidup. Insya Allah - Semoga saja! ***

No comments: