Wednesday, August 29, 2007

Kecerobohan Di Atas Biskuit


SEDANG asyik-asyiknya mengelana ke seantero blog bataknews, tiba-tiba di layar monitor komputerku muncul pemberitahuan adanya imel yang masuk. Aku langsung klik halaman intra-mail kantor. Tampak ada imel baru yang dikirim seorang teman, boru Harahap, penulis skenario. Biasanya, si ito ini kalau mengirim email ke aku hanya sebatas konsep, sinopsis atau skenario yang harus aku periksa. Namun, pada subject imel yang dikirimnya kali ini berbeda tulisannya; Renungan. Aku masih sempat mengerjit heran sebelum akhirnya kuputuskan untuk membuka attachment ikutannya.

Dalam format PPS - Power Point Slide - si ito itu ternyata mengirim satu cerita yang benar-benar membuat aku harus merenung. Sebuah cerita ringan, namun mampu mengusik rasa kesejatian manusiawiku.

Diceritakan: Di ruang tunggu salah satu bandara, seorang ibu muda terlihat tengah menunggu pesawat yang akan membawanya terbang. Karena harus menunggu keberangkatan cukup lama, ia memutuskan untuk membeli buku. Ia juga membeli sebungkus biskuit sebagai camilan sambil membaca buku. Itu memang lebih baik sebagai pengusir kejenuhan.

Si ibu muda duduk di salah satu kursi ruang VIP. Dengan menyadarkan tubuhnya yang terlihat terawat dengan baik, ia mulai membaca buku yang baru dibeli. Karena mungkin isi bukunya menarik, si ibu muda langsung saja tersihir untuk tetap fokus pada bacaan. Dia seperti tidak ingin terganggu oleh kesibukan di sekitarnya.

Di kursi sebelah, yang cuma dipisahkan meja kecil, duduk seorang pria yang lantas saja sibuk membuka majalah dan larut membaca. Di atas meja tampak sebungkus biskuit. Untuk beberapa saat, si ibu muda tak terusik oleh kehadiran pria lumayan tampan di sebelahnya. Ia hanya sempat melirik sejenak memastikan orang yang duduk di sebelahnya adalah orang baik-baik. Matanya juga sempat menangkap bungkus biskuit di atas meja.

Si ibu muda mulai terusik ketika ia mengambil sepotong biskuit dari bungkusnya di atas meja. Si pria pun ikut mengambil sepotong. Untuk kedua kalinya pun begitu. Si ibu muda jadi merasa terganggu oleh prilaku pria di sebelahnya. Iapun berguman saking dongkolnya: “Huh...! Menyebalkan! Ingin rasanya kutampar saja mukanya!”

Sialnya, kejadian itu tidak berlangsung satu-dua kali. Tapi setiap si ibu muda mengambil sepotong biskuit, si pria pun selalu ikut mengambil sepotong. Hampir amarah si ibu muda meledak kalau tidak ingat sedang berada di ruang VIP. Ia begitu geram melihat perbuatan pria yang dianggapnya sangat tidak sopan.

Ketika biskuit tinggal sepotong, si ibu muda bergumam dalam hati: “Coba saja! Ingin lihat apa yang akan dilakukannya.” – Konyolnya, tanpa merasa jahil, si pria membelah biskuit. Ia mengambil separoh dan mempersilahkan si ibu muda untuk menikmati sisa parohannya. Walau si pria tersenyum simpatik menawarkan, namun hati si ibu muda sudah tidak tahan. “Keterlaluan!!” rutuknya dalam hati sambil bergegas mengemasi barang dan pindah ke boarding room. Ibu muda merasa harga dirinya telah dipermainkan. Benar-benar menjijikkan laki-laki yang tidak kenal sopan santun itu!

Masih dengan kegeraman hati oleh kejadian yang baru dialaminya, akhirnya si ibu muda berusaha lebih menangkan diri setelah duduk di dalam pesawat yang akan membawanya pergi. Dia pikir, lebih cepat berangkat, lebih cepat pula melupakan si pria “kurang ajar”.

Minat untuk melanjutkan bacaan buku yang sempat tertunda tadi sudah hilang. Ibu muda ingin mencoba tidur saja. Maka, ia membuka tas jinjing miliknya untuk mengambil kaca mata. Betapa terkejutnya dia... Ternyata biskuit yang dibelinya tadi masih utuh dalam tas jinjingnya. Melihat itu mulut si ibu muda kontan ternganga dengan mata besar seperti tak percaya. Rasa malu, merasa bersalah, dan menyesal menyesak dada hingga membuatnya sulit bernafas.

Pria tadi membagi biskuit kepunyaannya kepada si ibu muda tanpa merasa marah, terganggu, ataupun merasa rugi. Sementara si ibu muda, tanpa menyelidiki terlebih dulu biskuit itu milik siapa, sudah begitu marah saat sesamanya manusia turut menikmati kebahagiaannya.

Akhir dari imel teman ini dibuat 4 hal yang tidak dapat diraih kembali: Pertama; Batu... setelah dilempar. Kedua; Kata-kata... setelah diucapkan. Ketiga; Kesempatan... setelah berlalu. Keempat; Waktu... setelah beranjak pergi.

Sungguh perenunganku hari ini benar-benar begitu dalam. Betapa seringnya aku berlaku ceroboh dalam hidup ini. Betapa kerapnya aku bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Sungguh ironinya aku sering menilai seseorang hanya dari penampilan. Bagaimana egoisnya aku tanpa berusaha menyapa sekitarku berada oleh karena merasa lebih unggul... Semoga pembaca juga bisa mengambil hikmah dari cerita di atas.! ***

Monday, August 20, 2007

Lelaki Pintar Itu...

Hidup tanpa buku,
ibarat bayi tanpa ibu,
tanpa susu,
tanpa suluh.

Ujar-ujar ini sekitar pertengahan tahun 80-an, sering sekali mampir ke telingaku. Saat itu aku masih seorang remaja beranjak dewasa yang lagi getol-getolnya membentuk sejatinya identitas diri. Hidup tanpa kiriman dari orang tua di kampung sana, yang sebenarnya sangat mampu mengirimiku uang. Tapi karena beda persepsi tentang masa depan, kuputuskan tidak lagi dikirimi uang. Aku memang telah ingkar “berbuat” pada bapakku yang ingin, aku sebagai anak tertua laki-laki, tidak meninggalkan bangku kuliah di fakultas ekonomi, yang telah dua tahun aku jalani. Tapi, hatiku berkata lain. Kepadaku, Tuhan tidak kasih talenta menjadi seorang ekonom. Aku lebih menyukai seni, terutama seni tulis menulis.

Yang membuat aku harus mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliah, karena saat dosen mengajar di depan kelas, aku malah sibuk menulis cerpen. Aku pikir, untuk apa buang-buang duit kalo ternyata aku tidak punya antensi sama sekali. Dan aku harus terima risikonya. Hubunganku dengan bapak jadi kurang harmonis.

Hidup senin-kemis tahun itu di Jakarta memang tidaklah separah sekarang. Makan di warteg masih murah. Bisa ngutang lagi kalau kita bisa ambil hati pemilik warteg. Waktu itu tekadku, harus bisa nunjukin ke among dan inong (bapak-ibu), kalau aku tidak salah langkah. Ini masalah talenta dari Yang Maha Kuasa. Harga mati!

Aku akhirnya terdampar disatu komunitas “Perpena” – Persekutuan Penulis Nasional, salah satu komunitas penulis-penulis Kristen yang “menggelandang”, di bawah asuhan penerbit YK Bina Kasih. Keikutsertaanku memang secara tidak sengaja. Hanya karena jasa seorang bapak jemaat gereja tempat aku aktif sebagai pemuda gereja, yang memperkenalkan aku kepada bapak H.A. Oppusunggu, direktur penerbit itu. Maka, sejak bergabung dengan komunitas penulis itu, aku menjadi sering mendengar ujar-ujar seperti di atas. Hampir disetiap pertemuan, Pak Oppu, begitu kami selalu memanggilnya, tak pernah absen menyebut ujar-ujar itu. Tadinya aku kurang peduli karena yang ada di otakku saat itu, gimana aku bisa menjadi seorang penulis terkenal... (kisah tentang aktivitas di Perpena ini tidak mungkin kutulis di sini karena sangat panjang cerita menariknya).

11 Agustus 2007.

Seminggu sebelum tanggal di atas. Pulang kerja sudah agak malam. Di atas meja ruang nonton tv, rumah kost, aku menemukan ada surat untukku. Ternyata undangan untuk menghadiri A Tribute to H.A. Oppusunggu. Sejenak aku tercenung. Di benakku terlintas masa suka-duka saat aktif di Perpena sekitar pertengahan tahun 80-an. Satu persatu wajah orang yang dulu begitu lekat di otakku berkelebat. Benni E Matindas, Yance Langkay, Bapak Alfred Simanjuntak, Alm. GMA. Nainggolan, Inge, Donald Korompis,... waduh siapa lagi, ya? Oh, Bapak M.S. Hutagalung, dulu dosen Sastra Indonesia di UI... Yeah, masih banyak nama yang sudah hilang dari ingatan... (Sayangnya, aku cuma bertemu dengan bapak M.S. Hutagalung).

Kuhela nafas agak berat. Di manakah mereka itu sekarang? Apakah mereka juga diundang? Betapa indah bertemu kembali. Tentu saja akan seru saling tukar cerita, atau mungkin juga membina satu kerjasama baru? Rasanya terlalu lama aku menunggu seminggu lagi untuk tanggal tersebut di atas.

Penuh harap bertemu mereka, sepagi itu aku bergegas turun di Gondangdia, tempat gedung pertemuan itu. Sebelumnya, aku mengajak bapak Benni (yang ini, seorang tua yang begitu sayang padaku. Dulu aktif sebagai pelaksana produksi di Focus, yang memproduksi Pepesan Kosong di TPI. Nama panjangnya Benni R Hamid) – Beliau ini selalu rindu untuk melayani di bidang visual walau usia udah kepala 6. Aku sering mengajak beliau, siapa tahu bisa kuperkenalkan pada orang yang mau kerja sama dengannya.

Aku call pak Benni ke HP-nya. Ternyata dia sudah berada di halaman gedung. Aku segera menemuinya. Di depan dan lobby gedung kulihat sudah banyak orang. Rapi pula semuanya. Aku sempat risih, karena pakaianku nyentrik seniman, lengkap dengan tas sandang. Seorang bapak yang di saku kemejanya terselip bunga anggrek, pertanda dia panitia hajatan, menyapa aku dan pak Benni. Bapak ini menawarkan kami untuk snack pagi dulu. Tapi kutolak dengan halus. Malah aku yang balik bertanya; “Pak, sebenarnya acara ini dalam rangka apa, ya?” – “Oh, hanya semacam ucapan syukur terima kasih pada pak Oppusunggu yang sudah mengabdi 45 tahun di Bina Kasih. Sekalian peluncuran bukunya,” sahut si bapak antusias. “Pak Oppu sudah pensiun?” tanyaku penasaran. – Betapa kaget dan tidak percayanya aku ketika si bapak itu mengatakan kalau pak Oppu sudah 2 kali terserang stroke. Yang terakhir malah sampai membuat “Lelaki Pintar itu...” lumpuh dan tidak mampu lagi berbicara. Dan... selang beberapa saat, mobil yang membawa pak Oppu tiba. Sungguh aku terdiam kaku melihat beliau begitu kurus dengan wajah pucat dan tak berdaya digendong ke atas kursi roda. Untuk menyumpainya hatiku tidak tega saking sedihnya. Si bapak kembali menerangkan kalau pak Oppu memang masih bisa mengenali orang. Tapi, aku tak sampai hati mendekatinya... Hanya doa yang bisa kupanjatkan.

Lelaki pintar itu...
Kini terlihat hanya seonggok tubuh rapuh. Ke manakah terbangnya kegalakannya, kebaikan hatinya, ketegasan prinsipnya, dan kepintarannya sebagai seorang editor handal dan pemikir keras untuk menerbitkan buku-buku berkwalitas? Di manakah sekarang antusiasme-nya untuk menciptakan komunikator-komunikator handal? Di manakah saat ini kegigihannya menerbitkan bacaan anak-anak, yang ringan tapi mudah dipahami?

Aku selalu mengingat ucapan beliau: “Tulislah cerita untuk anak-anak, bukan cerita tentang anak-anak. Tulislah naskah ilmiah yang informatif untuk anak-anak, bukan untuk anak-anak yang ilmuwan.” – Maksud beliau, seorang penulis cerita, atau artikel untuk anak-anak harus piawai berkomunikasi dengan anak-anak dalam bahasa anak-anak, sesuai dengan daya cerna atau daya nalar anak-anak.

Ucapan beliau ini baru aku sadari setelah puluhan tahun kemudian, di mana televisi swasta begitu pesat berkembang dengan segala atribut acaranya. Mayoritas tayangan untuk anak di televisi tidak seperti yang pak Oppu katakan dulu. Yang terjadi malah cerita dewasa yang dimainkan oleh anak-anak + remaja, yang ungkapan-ungkapannya juga begitu dewasa. Kusadari ucapan pak Oppu ini, sebenarnya agar pertumbuhan anak-anak berjalan normal sesuai tingkat intelektual mereka. Tidak dipaksakan menjadi anak-anak yang dewasa, sehingga mereka terkontaminasi oleh prilaku orang dewasa dan sangat tidak mendidik.

Lelaki pintar itu...
Siapa di kalangan anak-anak sekolah minggu (mungkin sekarang mereka ini sudah malah punya anak) yang tidak hafal nama H.A. Oppusunggu, yang banyak menulis, membuat, menterjemahkan komik dan cerita-cerita Alkitab? Siapa yang tak kenal H.A. Oppusunggu, lelaki pintar itu... di kalangan penerbit, khususnya penerbit Kristen?

Lelaki yang kini tak berdaya oleh stroke dan diabetes yang merenggut kepintarannya itu, hanya menatap kosong, entah apa yang berkecamuk di pikirannya. Lelaki yang dulu kurang kusukai, tapi sekaligus guru yang kuhormati dan selalu kurindu ketegasan-ketegasan bicaranya, hanya mampu kutatap dari jauh. Terlalu banyak ilmu editor buku dan tulis menulis yang kudapat dari beliau.

Panas terik dalam bisu kulewati bersama pak Benni melintasi jalan Cikini Raya. Kutatap buku yang baru diluncurkan tadi, seukuran kwuarto dengan tulisan warna coklat “Melayankan Injil Melalui Media”, dengan latar sampul warna putih. Lalu gambar sketsa H.A. Oppusunggu menghiasi sampul itu, lengkap oretan tanda tangannya. Di sketsa itu tampak senyum khas beliau dengan kaca mata sebagai salah satu ciri khasnya.

Lelaki pintar itu...
Kini tidak lagi punya apa-apa. Hanya seonggok tubuh rapuh yang tak mampu lagi menggoreskan pulpen warnanya ke atas naskah yang dieditnya. Aku tersadar... Manusia sehebat (setidaknya menurut pandanganku), H.A. Oppusunggu yang punya banyak akses ke luar negerti dan dikagumi, ternyata tak selamanya kokoh. Aku tersadar... Manusia ternyata tidak punya kekuatan apa-apa bila uzur telah datang. Bila saatnya tiba, semua kekuatan, kekayaan, kepopuleran dan kepintaran kita cuma sebatas kenangan.

Tulisan ini aku buat, selain untuk menghormati guruku, H.A. Oppusunggu, yang kini tak berdaya, juga sebagai gambaran kepada kita semua, bahwa semasih kita bisa berbuat amal baik, janganlah pernah menunda. Rendahkanlah hatimu ketika kau disanjung tinggi. Janganlah mencari kekayaan, tapi jadilah kaya...

Lelaki pintar itu...
Bernama asli, Hasoloan Aritonang Oppusunggu. Lahir 10 Mei 1937 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Berasal dari keluarga Kristen sederhana. Anak ke-3 dan satu-satunya laki-laki dari lima bersaudara. Zaman pemberontakan PRRI, sekitar tahun 1950-an, ia dipenjara karena termasuk orang yang kritis terhadap pemerintah. Pernah bekerja sebagai anggota redaksi sebuah surat kabar nasional di Pekanbaru. Sejak SMP, lelaki “siantarman” ini sudah menulis artikel ke koran. Salah satu judul artikelnya “Hartawan Rakus” – yang mungkin karena landasan inilah kehidupan pak Oppu selalu terlihat sederhana dan bersahaja.

Doaku bersamamu selalu. Ajar-ajarmu takkan tertinggal mati. Walau tubuhmu saat ini tak lagi dalam kuasamu, tapi buah karyamu tak lekang ditelan masa. Ujar-ujarmu: Hidup tanpa buku, ibarat bayi tanpa ibu, tanpa susu, tanpa suluh, adalah pemikiran yang patut diamini setiap orang. ***

Nestor: Irama Tembang Purba

Rimba terkesiap. Jantungnya berdebar lebih keras. Ayunan tangan yang gemulai itu membuat ketiak gadis itu tersingkap. Kedua bukit yang tersimpan di balik lilitan kain sarung bergoyang kenyal. Rimba menelan ludah. Goyangan itu membuat kedua bukit itu seakan mau melompat menembus kain yang membalutnya...


Nukilan kisah di atas adalah penggalan yang saya kutip dari cerpen Irama Tembang Purba karya Nestor Rico Tambunan. Judul cerpen itupun menjadi label dari buku Kumpulan Cerpen Pilihan, yang diterbitkan tahun 2004 oleh Penerbit Progres Jakarta. Di dalam buku ini ada 12 cerpen dari berbagai aliran penulis, seperti paparan editornya, Nadjib Kartapati Z, dalam Kata Pengantar; “Dalam kumpulan ini Anda akan menjumpai berbagai jenis cerpen yang bernuansa misteri, klasik, psikologi dan bahkan remaja...”

Awal membaca judul cerpen Nestor ini, saya sempat dibuat berpikir keras. Apa maksudnya Irama Tembang Purba? Saya coba mengartikan kalau itu berhubungan dengan nyanyian atau musik tradisional – atau irama nyanyian zaman purba (?). Namun setelah membaca tuntas cerpen itu, saya malah tidak menemukan secuil pun cerita tentang sebuah “tembang”. Satu pemilihan judul tulisan yang memikat dan penuh makna. Itulah salah satu kelebihan lae kita si Nestor, anak kelahiran Hutajulu, Lumban Lobu, Tapanuli Utara ini dalam membuat judul-judul tulisannya sejak dulu. Memikat, penuh rangsangan untuk membaca tulisan dari judul yang dibuat. Dalam penulisan pun, Nestor selalu fokus dengan bahasa yang gamblang dan sedikit puitis dalam menggambarkan situasi. Nestor juga tidak ragu-ragu mengkritisi ketidak-benaran yang dilihatnya. Jiwa jurnalis sejati begitu kuat melekat dalam dirinya, ditambah rasa ketidak-sungkanan diri seorang anak Batak untuk mengatakan “tidak” jika “tidak” dan “ya” bila memang harus “ya”.

Saya tertarik membahas cerpen “Irama Tembang Purba” ini, karena saya sungguh mendapat satu kejutan yang lucu sekaligus ironis. Kalau kandungan ceritanya sendiri, streotip dengan cerita-cerita percintaan sepasang anak manusia yang sudah banyak dimunculkan. Kelebihan seorang penulis cerita, ketika si penulis bisa mengangkat satu cerita yang sudah lumrah terbaca umum, namun ditelaah dari sudut yang berbeda dalam keunikan akar budaya tokoh dalam cerita. Saya anggap, Nestor berhasil memunculkannya dalam cerita ini.

Rimba, si anak desa yang lugu, digambarkan begitu kaget dan terpesonanya saat menyadari kalau Orsina, putri Ompu Porhas, dukun yang merangkap raja adat di desa mereka - dan sejak kecil Rimba sudah mengenal Orsina – kini telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang menggairahkan dengan tonjoloan bukit dadanya yang kenyal. Hal inilah kemudian yang membuat hari-hari Rimba begitu menggelisahkan. Menghadirkan perasaan tak bernama di sudut hatinya... (ungkapan Nestor dalam ceritanya ini). Dan bagi Rimba, perasaan tak ternama itu bagai tembang purba; asing, tetapi agung dan menggetarkan sukma, betapa nikmat.

Alinea demi alinea membaca cerita ini, Nestor berhasil memberi “kegemasan” bagi pembacanya dengan cara tuturnya yang begitu memikat; ...Rimba baru saja membantu menaikkan hudon ke atas kepala Orsina. Rimba mengangkat bibir atas gentong tanah liat itu, sementara Orsina memegangi bawahnya. Ketika Rimba mengangkat, Orsina menyorongkan kepalanya ke pantat hudon. Gerakan yang kurang terukur membuat bukit Orsina menyentuh tipis dada Rimba yang telanjang. Srrr. Rimba terpaku bagai kena tenung, terdiam bagai patung.

Saya begitu gemas membayangkan bagian ini. Saya rasakan Rimba itu adalah saya, Orsina itu wanita yang paling saya taksir. Sayangnya, Rimba tidak mudah menguntai harapan cintanya. Amang Jonggur, ayah Rimba, terkejut mendengar permintaan putra kesayangannya itu untuk melamarkan Orsina untuknya. Di samping status ayah Orsina yang begitu disegani penduduk, sudah pasti Amang Jonggur tidak mampu memberi boli, mas kawin, sebagai syarat. Tapi, Rimba ngotot harus kawin dengan Orsina. Ayahnya tak tega juga.

Sialnya, Ompu Porhas tidak menolak lamaran itu asal boli-nya enam kerbau dan empat petak kebun. Dukun dan raja adat itupun meminta waktu seminggu sebelum menerima lamaran itu secara sah. “Seperti diwariskan kakek moyang kita, kita perlu menangkap isyarat sebelum melakukan sesuatu.” Alasan Ompu Porhas sehingga meminta waktu seminggu.

Dari sinilah cerita makin menarik. Nestor cukup piawai menghadirkan esensi dari budaya adat di desanya si Rimba. Hal ini tentu saja semakin memikat untuk konflik yang akan dibangun semacam suatu perjuangan tokoh cerita dalam menggapai tujuannya. Dan yang menarik buat saya, ketika Rimba harus dihadapkan pada kepercayaan turunan dari leluhur. Konyolnya, selama ‘menangkap isyarat’ boleh tidaknya melakukan sesuatu, harus seturut kajian Ompu Porhas sebagai dukun dan raja adat. Adakalanya melalui mimpi atau ada burung elang yang berkuik-kuik sambil berputar-putar di atas rumah Ompu Porhas. Rimba tidak terima. Ia curiga akan manfaat wewenang yang diberikan kepada Ompu Porhas. Bagaimana kalau Ompu Porhas tidak menyukai Rimba? Bukankah dengan enteng dia bisa berkata kalau isyarat yang dia dapat, mereka tidak bisa menikah. Bah...?!

Membaca kelanjutan cerita ini, saya sungguh mendapat pencerahan bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia merdeka, bisa menjadi bijak dalam menanggapi atau menyikapi prihal adat istiadat yang sudah turun temurun dimiliki manusia. Apalagi zaman ini semakin canggih, dan orang kian mudah mempertentangkan iman agamanya terhadap budaya adat.

Tiga hari sudah penantian yang mendebarkan itu. Tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Rimba semakin tak sabar. Rasanya ia ingin siang cepat-cepat berganti dengan malam, memperoleh jawaban, kemudian... menyunting Orsina! O, impian yang mendebarkan...

Saya sendiri membaca kelanjutan cerita ini turut berdebar. Amangoi...! Pada hari ke-4 penantian tiba-tiba burung Sipahut mencicit-cicit pedih di atas bubungan jabu gorga, rumah ukir, milik Ompu Porhas. Orang sekampung, termasuk Rimba, tahu bahwa cicitan burung bermuka hantu itu pertanda buruk.

Seturut cerita Nestor ini, bila ada kejadian seperti itu, Ompu Porhas akan segera memerintahkan kepada penduduk untuk membatalkan segala niat berhelat, dan menyuruh memberikan persembahan kepada Ompu Mulajadi Na Bolon.

“Tidak, Sina! Hubungan kita tidak boleh putus karena burung itu,” ujar Rimba menunjukkan kegalauan hatinya saat bertemu Orsina yang turut sedih. – Menurut Rimba, burung “sialan” itu masih satu malam bercicit, belum tiga malam. Harapannya masih ada dua malam lagi. Penduduk desa pun tahu itu.

Sampai di sini, saya belum bisa menebak ke mana akhir cerita ini. Apalagi malam keduanya, burung itu masih tetap mencicit. Alamat pertanda buruk bagi Rimba. Dan akhirnya aku tertawa tanpa bisa kutahan. Malam ketiga burung itu tidak lagi mecicit. Orang sekampung geger. Pesta perhelatan putri raja adat mereka akan segera digelar. Betapa beruntungnya (mungkin) Amang Jonggur berbesan dengan orang yang peling dihormati di desa mereka.

Pembaca. Tahu tidak kenapa saya akhirnya tertawa sekaligus merasakan ke-ironi-an? Nestor sungguh mampu memberi akhir dari ceritanya dengan satu kejutan besar. Burung Sipahut itu tidak lagi mencicit pada malam ketiga, ternyata karena siang harinya sudah diketapel oleh Rimba, mati. Ya, jelas saja tidak mencicit lagi. Sekarang, apa yang kita dapat dari Irama Tembang Purba ini? – Mungkin cinta sejati yang penuh pengorbanan dengan tidak peduli akan “ke-magis-an” budaya adat leluhur? Ternyata, Nestor mengistilahkan “Irama Tembang Purba” ini sebagai cinta kasih. Bahwa sejak terciptanya manusia di dunia ini, yang namanya cinta, saling cinta, cinta yang berpadu sudah ada. Bahwa kalau dua insan sudah saling mencinta, dan cinta itu sudah ada sejak purba, apapun akan dilakukan. Tergantung bagaimana kita mengarahkannya kepada kebenaran cinta itu sendiri. Tapi, saya tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan Romeo & Juliet...

Rimba telah mengetapel dan membuang burung yang mereka anggap sakti itu sebelum hinggap dan mencicit di atas bubungan jabu gorga, rumah ukir Ompu Porhas, pada malam ketiga. Ia nekat. Ia tak mau kehilangan tembang purba yang menggetarkan irama sukma dan denyut nadinya. Ia ingin tembang itu mengalun sampai ke masa hidup anak cucunya. Anak cucu Orsina.

Aturan adat istiadat memang penting dan patut kita hormati. Hanya saja, setiap mereka yang ditunjuk sebagai “punggawa” dari setiap sisi budaya adat itu janganlah sampai menyalahgunakan demi kepentingan diri sendiri. Biarlah budaya adat, tidak melulu tradisional, beriringan seturut mengalirnya hidup kita sehari-hari tanpa ada yang tersakiti dan yang menyakiti. ***