SEDANG asyik-asyiknya mengelana ke seantero blog bataknews, tiba-tiba di layar monitor komputerku muncul pemberitahuan adanya imel yang masuk. Aku langsung klik halaman intra-mail kantor. Tampak ada imel baru yang dikirim seorang teman, boru Harahap, penulis skenario. Biasanya, si ito ini kalau mengirim email ke aku hanya sebatas konsep, sinopsis atau skenario yang harus aku periksa. Namun, pada subject imel yang dikirimnya kali ini berbeda tulisannya; Renungan. Aku masih sempat mengerjit heran sebelum akhirnya kuputuskan untuk membuka attachment ikutannya.
Wednesday, August 29, 2007
Kecerobohan Di Atas Biskuit
Monday, August 20, 2007
Lelaki Pintar Itu...
Hidup tanpa buku,
ibarat bayi tanpa ibu,
tanpa susu,
tanpa suluh.
Ujar-ujar ini sekitar pertengahan tahun 80-an, sering sekali mampir ke telingaku. Saat itu aku masih seorang remaja beranjak dewasa yang lagi getol-getolnya membentuk sejatinya identitas diri. Hidup tanpa kiriman dari orang tua di kampung sana, yang sebenarnya sangat mampu mengirimiku uang. Tapi karena beda persepsi tentang masa depan, kuputuskan tidak lagi dikirimi uang. Aku memang telah ingkar “berbuat” pada bapakku yang ingin, aku sebagai anak tertua laki-laki, tidak meninggalkan bangku kuliah di fakultas ekonomi, yang telah dua tahun aku jalani. Tapi, hatiku berkata lain. Kepadaku, Tuhan tidak kasih talenta menjadi seorang ekonom. Aku lebih menyukai seni, terutama seni tulis menulis.
11 Agustus 2007.
Seminggu sebelum tanggal di atas. Pulang kerja sudah agak malam. Di atas meja ruang nonton tv, rumah kost, aku menemukan ada surat untukku. Ternyata undangan untuk menghadiri A Tribute to H.A. Oppusunggu. Sejenak aku tercenung. Di benakku terlintas masa suka-duka saat aktif di Perpena sekitar pertengahan tahun 80-an. Satu persatu wajah orang yang dulu begitu lekat di otakku berkelebat. Benni E Matindas, Yance Langkay, Bapak Alfred Simanjuntak, Alm. GMA. Nainggolan, Inge, Donald Korompis,... waduh siapa lagi, ya? Oh, Bapak M.S. Hutagalung, dulu dosen Sastra Indonesia di UI... Yeah, masih banyak nama yang sudah hilang dari ingatan... (Sayangnya, aku cuma bertemu dengan bapak M.S. Hutagalung).
Kini terlihat hanya seonggok tubuh rapuh. Ke manakah terbangnya kegalakannya, kebaikan hatinya, ketegasan prinsipnya, dan kepintarannya sebagai seorang editor handal dan pemikir keras untuk menerbitkan buku-buku berkwalitas? Di manakah sekarang antusiasme-nya untuk menciptakan komunikator-komunikator handal? Di manakah saat ini kegigihannya menerbitkan bacaan anak-anak, yang ringan tapi mudah dipahami?
Siapa di kalangan anak-anak sekolah minggu (mungkin sekarang mereka ini sudah malah punya anak) yang tidak hafal nama H.A. Oppusunggu, yang banyak menulis, membuat, menterjemahkan komik dan cerita-cerita Alkitab? Siapa yang tak kenal H.A. Oppusunggu, lelaki pintar itu... di kalangan penerbit, khususnya penerbit Kristen?
Kini tidak lagi punya apa-apa. Hanya seonggok tubuh rapuh yang tak mampu lagi menggoreskan pulpen warnanya ke atas naskah yang dieditnya. Aku tersadar... Manusia sehebat (setidaknya menurut pandanganku), H.A. Oppusunggu yang punya banyak akses ke luar negerti dan dikagumi, ternyata tak selamanya kokoh. Aku tersadar... Manusia ternyata tidak punya kekuatan apa-apa bila uzur telah datang. Bila saatnya tiba, semua kekuatan, kekayaan, kepopuleran dan kepintaran kita cuma sebatas kenangan.
Lelaki pintar itu...
Bernama asli, Hasoloan Aritonang Oppusunggu. Lahir 10 Mei 1937 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Berasal dari keluarga Kristen sederhana. Anak ke-3 dan satu-satunya laki-laki dari lima bersaudara. Zaman pemberontakan PRRI, sekitar tahun 1950-an, ia dipenjara karena termasuk orang yang kritis terhadap pemerintah. Pernah bekerja sebagai anggota redaksi sebuah surat kabar nasional di Pekanbaru. Sejak SMP, lelaki “siantarman” ini sudah menulis artikel ke koran. Salah satu judul artikelnya “Hartawan Rakus” – yang mungkin karena landasan inilah kehidupan pak Oppu selalu terlihat sederhana dan bersahaja.
Doaku bersamamu selalu. Ajar-ajarmu takkan tertinggal mati. Walau tubuhmu saat ini tak lagi dalam kuasamu, tapi buah karyamu tak lekang ditelan masa. Ujar-ujarmu: Hidup tanpa buku, ibarat bayi tanpa ibu, tanpa susu, tanpa suluh, adalah pemikiran yang patut diamini setiap orang. ***
Nestor: Irama Tembang Purba
Rimba terkesiap. Jantungnya berdebar lebih keras. Ayunan tangan yang gemulai itu membuat ketiak gadis itu tersingkap. Kedua bukit yang tersimpan di balik lilitan kain sarung bergoyang kenyal. Rimba menelan ludah. Goyangan itu membuat kedua bukit itu seakan mau melompat menembus kain yang membalutnya...
Nukilan kisah di atas adalah penggalan yang saya kutip dari cerpen Irama Tembang Purba karya Nestor Rico Tambunan. Judul cerpen itupun menjadi label dari buku Kumpulan Cerpen Pilihan, yang diterbitkan tahun 2004 oleh Penerbit Progres Jakarta. Di dalam buku ini ada 12 cerpen dari berbagai aliran penulis, seperti paparan editornya, Nadjib Kartapati Z, dalam Kata Pengantar; “Dalam kumpulan ini Anda akan menjumpai berbagai jenis cerpen yang bernuansa misteri, klasik, psikologi dan bahkan remaja...”
Saya tertarik membahas cerpen “Irama Tembang Purba” ini, karena saya sungguh mendapat satu kejutan yang lucu sekaligus ironis. Kalau kandungan ceritanya sendiri, streotip dengan cerita-cerita percintaan sepasang anak manusia yang sudah banyak dimunculkan. Kelebihan seorang penulis cerita, ketika si penulis bisa mengangkat satu cerita yang sudah lumrah terbaca umum, namun ditelaah dari sudut yang berbeda dalam keunikan akar budaya tokoh dalam cerita. Saya anggap, Nestor berhasil memunculkannya dalam cerita ini.
Rimba, si anak desa yang lugu, digambarkan begitu kaget dan terpesonanya saat menyadari kalau Orsina, putri Ompu Porhas, dukun yang merangkap raja adat di desa mereka - dan sejak kecil Rimba sudah mengenal Orsina – kini telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang menggairahkan dengan tonjoloan bukit dadanya yang kenyal. Hal inilah kemudian yang membuat hari-hari Rimba begitu menggelisahkan. Menghadirkan perasaan tak bernama di sudut hatinya... (ungkapan Nestor dalam ceritanya ini). Dan bagi Rimba, perasaan tak ternama itu bagai tembang purba; asing, tetapi agung dan menggetarkan sukma, betapa nikmat.
Alinea demi alinea membaca cerita ini, Nestor berhasil memberi “kegemasan” bagi pembacanya dengan cara tuturnya yang begitu memikat; ...Rimba baru saja membantu menaikkan hudon ke atas kepala Orsina. Rimba mengangkat bibir atas gentong tanah liat itu, sementara Orsina memegangi bawahnya. Ketika Rimba mengangkat, Orsina menyorongkan kepalanya ke pantat hudon. Gerakan yang kurang terukur membuat bukit Orsina menyentuh tipis dada Rimba yang telanjang. Srrr. Rimba terpaku bagai kena tenung, terdiam bagai patung.
Seturut cerita Nestor ini, bila ada kejadian seperti itu, Ompu Porhas akan segera memerintahkan kepada penduduk untuk membatalkan segala niat berhelat, dan menyuruh memberikan persembahan kepada Ompu Mulajadi Na Bolon.
“Tidak, Sina! Hubungan kita tidak boleh putus karena burung itu,” ujar Rimba menunjukkan kegalauan hatinya saat bertemu Orsina yang turut sedih. – Menurut Rimba, burung “sialan” itu masih satu malam bercicit, belum tiga malam. Harapannya masih ada dua malam lagi. Penduduk desa pun tahu itu.