Tuesday, October 23, 2007

Debata Bukan Tuhan?


SAYA memberi tanda kutip pada “?” untuk judul di atas, karena saya memang tidak meragukan kalau Debata itu adalah Tuhan. Persoalannya, banyak orang yang “maniak agama”, entah agama apapun itu, lebih melihat sisi agama dari simbol-simbolnya saja. Sebutan-sebutannya saja. Aturan-aturan doktrinnya saja, tanpa pernah meresapi sedalam apa esensi ajaran agama itu sejatinya.

Ada Segolongan orang Kristen yang mengharamkan adat istiadat, khususnya adat Batak. Kenapa? Menurutnya, karena adat istiadat Batak itu lahir dari manusia-manusia terdahulu, leluhur orang Batak, yang masih atheis. [dalam hal ini, “segolongan” orang yang saya sebut itu mungkin belum menyadari kalau pola pikir manusia akan berkembang sesuai kemajuan zamannya].

Satu soal yang hingga kini masih membuat saya tak habis mengerti, ketika lagu Kumbaya My Lord dilarang dinyanyikan. Dulu saya suka sekali dengan lagu ini. Penasaran terhadap pelarangan itu, saya lalu bertanya kepada anggota “segolongan” ini. Ironis, jawabannya sama seperti ketika mereka “mengharamkan” adat Batak. Katanya, Kumbaya itu adalah nama [sebutan] untuk tuhan orang-orang di Afrika sana.

“Lha?!”

Saya bengong dan tidak habis mengerti. Itukan sebutan [bahasa] orang sono dalam menyebut Tuhan, sama seperti bahasa Batak, Debata, untuk menyebut Tuhan. Apanya yang salah? Ungkapan “debata” bagi orang Batak pada zaman nenek moyang adalah sebutan kepada tuhan Debata Mulajadi Na Bolon. Orang Batak belum mengenal agama Kristen dan Islam.

Tapi, si kawan “segolongan” itu dengan enteng menjawab; “Lagu Kumbaya itu adalah nyanyian penyembahan orang Afrika kepada tuhan berhala”.

Tentu saja saya tidak puas dengan jawaban itu.

“Lalu, sebutan untuk Tuhan [Allah] bagi orang Afrika dan orang Batak, apa dong bahasanya? Memangnya masih ada “bahasa” lain untuk menyebut Tuhan [Allah] selain Debata dan Kumbaya bagi kedua umat ciptaan Tuhan ini?” sergahku mulai merasa aneh melihat si Kawan “segolongan” itu.

Si Kawan “segolongan” terdiam. “Itu kan cuma sebutan [bahasa], sama seperti orang bule menyebut God atau Lord untuk Tuhan [Allah],” lanjutku menanggapi si kawan “segolongan” itu. Mungkin aku juga sok tahu banget.

Saya bukan seorang ahli teologia, dan bukan pula anti kepada si kawan “segolongan” itu. Tapi, saya kurang bisa menerima teman atau sesamaku manusia terlalu fanatik dengan doktrin agama [pada blog ini sudah sering sekali dibahas dan dikomentari tentang doktrin agama ini].

Itu kan hanya sebutan, bahasa. Kenapa jadi terjebak kepada hal-hal yang berbau simbol-simbol? Sama halnya dengan sebagian Saudaraku yang beragama Islam, yang fanatiknya gak ketulungan. Terlalu cepat emosi kalau ada seseorang dianggap melecehkan simbol-simbol itu. Sebagai contoh (mungkin), seorang penjual cabe membuat kertas bertuliskan Arab jadi pembungkus cabenya. Padahal, tulisan Arab itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Al Qur’an. Hanya secarik kertas bertuliskan aksara Arab, mungkin tentang cerita Abunawas. Saudaraku “segolongan” yang melihat itu pasti kontan marah. Bahkan mungkin akan menjadi hiperbola sehingga memancing saudaranya “segolongan” mencari penjual cabe untuk di ”jihad” rame-rame.

Kawan dan Saudaraku “segolongan” ini rasa ketersinggungannya sangat sensitif dan akan bisa berubah sangat radikal. Si Kawan “segolongan” akan dengan mudah menghakimi orang sebagai; “pendosa!”. Si Saudaraku “segolongan” ini akan dengan lantang meneriakkan; “pengkhinaan!”. Padahal, sebagai manusia yang cuma ciptaan semata tak seorangpun yang luput dari kesalahan dan kesalahan. Saya jamin tidak ada manusia yang sempurna selain Allah itu sendiri.

Jadi, saya melihat semua ini tak lebih dari usaha pembenaran doktrin-doktrin agama yang “tertelan” bulat-bulat untuk pembenaran keyakinannya. Itu sah-sah saja semasih kita tetap bisa menyeimbangkan pemikiran terhadap segala perbedaan. Tidak lantas ekstrim total! Karena kita jangan lupa; Tuhan hanya satu, Sang Khailik, Pencipta nan Maha Kuasa. Kristen dan Islam, bahkan mungkin agama lain “sepaham” mengatakan; Pencipta bumi dan segala isinya (terutama manusia) adalah satu oknum, yang disebut Tuhan [Allah]. Namun, ketika doktrin agama sudah mulai bicara, maka kehakikian Sang Pencipta tadi jadi absurd. Tidak jelas. Karena manusia “doktrin” telah merubah dirinya jadi “maha tahu”, dan kadang seperti lebih tahu dari Sang Khailik itu sendiri. Yang satu mengatakan mereka paling benar. Yang satunya lagi membantah, merekalah yang paling benar.

Anehnya, mereka mengklaim, Allah itu cuma Allah mereka. “Allah-mu tidak sama dengan Allah-ku” – Lha...?! Bukankah manusia yang saling bersitegang urat leher itu hidup di dunia yang sama? Lantas, Allah siapa sebenarnya yang menciptakan bumi dan segala isinya ini? Emangnya, yang menciptakan bumi dan segala isinya ada 2 atau 3 allah? Bisa berantem dong allah-allah itu karena berebut lahan waktu penciptaan? (maaf, saya jadi tertawa membayangkan). Gimana, ya, kalau betul-betul ada dua allah yang menciptakan bumi dan segala isinya ini? Ini kan konyol! Kalau sudah ada pengkotak-kotakan begitu, lantas manusia lainnya muncul dari mana? Kok, bisa tinggal di dunia ini?

Melalui tulisan “ecek-ecek” ini, saya hanya ingin berbagi pemikiran agar kita tidak jadi terjebak kedalam doktrin-doktrin agama yang penuh dengan simbol-simbol, sebutan-sebutan, dan aturan-peraturan pelembagaan agama itu. Saya selalu berprinsip; saya itu ke Surga atau ke Neraka bukan karena si “A” atau si “B”. Tapi karena Kemurahan, Kasih, dan Cinta dari Sang Pencipta [Allah] karena perbuatan-perbuatan baik saya selama hidup. Insya Allah - Semoga saja! ***

Sunday, September 2, 2007

Buat Embe


masih terlalu lama tidur sejam lagi
saat kekasih beranjak meninggalkan peraduan
ini waktu jam empat tiga puluh subuh
langkah kekasih begitu pasti menuju matahari

sekiranya kebuntuan pikir tak dihujam asmara
alangkah sejam sangat berarti bagi kehidupan
tak kalah langkah menuju kesiangan
sudah pasti menyusul kekasih membara


(terkhayal dia atas bis P45 PPD - Blok M - Cimone)

Dia seorang perempuan yang selalu mengaku keturunan India-Batak... Aku suka menyebutnya InBa. Celakanya, si Inba ini selalu mengaku dirinya cantik... emang sih... India githu, lho! Tapi, kalo aku lihat dia suka konpensasi diri karena merasa tubuhnya rada bongsor... Emang berapa seh berat kamu, Inba? - Aku taksir seh 90-an githu deh...

Yang aku suka dari cewek satu ini, kerjanya cepat. Mulutnya bawel. Nyerocos tak kenal "sopan-sophian". Ide-ide ceritanya mengalir terus karena emang dia mau eksis di profesi perfilman. Makanya dia punya kata-kata (yeah, semacam motto githu deh: "I love to write... I love to sing n write songs... I love directing... I looove pampering myself to the spa hoho! an..." - Kupluknya, aku malah belom pernah dengar dia nyanyi? Hehehehe... soalnya, kalo kami ketemu cuma di kantor seh. Coba di luar, ketemu po'on ama tiang listrik... pasti 'kale dia nyanyi... India githu, bo...

Sungguh! Aku suka tidak habis pikir melihat si Inba manis ini... Kadang kalo lagi chatting, dia suka "marah-marah" tentang hidup ini... Sepertinya, Inba benci dilahirkan ke dunia ini. Kenapa, ya? Pernah dia bilang waktu chat; "...biarkan saja aku menjauh dari semuanya, agar tak ada lagi yg dapat melihat ku..." - Waduh! Sedih banget, ya...??

Mungkin, Inba kurang bersyukur akan hidup ini. Sama seperti aku yang sering juga kurang bersyukur. Padahal, dia itu sudah dikasih Tuhan talenta yang orang lain mungkin tidak bisa miliki. Dia bisa jadi sutradara film, walau belakangan lebih merasa enak jadi penulis skenario karena kerjanya enak dan duitnya cepat... Gak ribet githu deh kayak lagi sutradarai film/sinetron.

Aku menulis puisi di atas ketika ingat Inba selalu bilang kalau tidurnya selalu tidak cukup. Dia maunya tidur itu dalam sehari-semalam harus 8 jam... Gimana gak tambah bongsor? - Aku bingung aja mendengarnya. Soalnya, sengantuk apapun kalo aku udah kontan terlelap, dalam 10 menit sudah menyegarkan banget... Maka, aku pikir: Inba kenapa gak bisa kurangi satu jam aja dari tidur semestinya dia... Buat aku kehilangan satu jam terbangun dari tidur, sama saja kehilangan kekasih yang pergi menyongsong matahari... (***buat Maruska Bath) - 030907

Wednesday, August 29, 2007

Kecerobohan Di Atas Biskuit


SEDANG asyik-asyiknya mengelana ke seantero blog bataknews, tiba-tiba di layar monitor komputerku muncul pemberitahuan adanya imel yang masuk. Aku langsung klik halaman intra-mail kantor. Tampak ada imel baru yang dikirim seorang teman, boru Harahap, penulis skenario. Biasanya, si ito ini kalau mengirim email ke aku hanya sebatas konsep, sinopsis atau skenario yang harus aku periksa. Namun, pada subject imel yang dikirimnya kali ini berbeda tulisannya; Renungan. Aku masih sempat mengerjit heran sebelum akhirnya kuputuskan untuk membuka attachment ikutannya.

Dalam format PPS - Power Point Slide - si ito itu ternyata mengirim satu cerita yang benar-benar membuat aku harus merenung. Sebuah cerita ringan, namun mampu mengusik rasa kesejatian manusiawiku.

Diceritakan: Di ruang tunggu salah satu bandara, seorang ibu muda terlihat tengah menunggu pesawat yang akan membawanya terbang. Karena harus menunggu keberangkatan cukup lama, ia memutuskan untuk membeli buku. Ia juga membeli sebungkus biskuit sebagai camilan sambil membaca buku. Itu memang lebih baik sebagai pengusir kejenuhan.

Si ibu muda duduk di salah satu kursi ruang VIP. Dengan menyadarkan tubuhnya yang terlihat terawat dengan baik, ia mulai membaca buku yang baru dibeli. Karena mungkin isi bukunya menarik, si ibu muda langsung saja tersihir untuk tetap fokus pada bacaan. Dia seperti tidak ingin terganggu oleh kesibukan di sekitarnya.

Di kursi sebelah, yang cuma dipisahkan meja kecil, duduk seorang pria yang lantas saja sibuk membuka majalah dan larut membaca. Di atas meja tampak sebungkus biskuit. Untuk beberapa saat, si ibu muda tak terusik oleh kehadiran pria lumayan tampan di sebelahnya. Ia hanya sempat melirik sejenak memastikan orang yang duduk di sebelahnya adalah orang baik-baik. Matanya juga sempat menangkap bungkus biskuit di atas meja.

Si ibu muda mulai terusik ketika ia mengambil sepotong biskuit dari bungkusnya di atas meja. Si pria pun ikut mengambil sepotong. Untuk kedua kalinya pun begitu. Si ibu muda jadi merasa terganggu oleh prilaku pria di sebelahnya. Iapun berguman saking dongkolnya: “Huh...! Menyebalkan! Ingin rasanya kutampar saja mukanya!”

Sialnya, kejadian itu tidak berlangsung satu-dua kali. Tapi setiap si ibu muda mengambil sepotong biskuit, si pria pun selalu ikut mengambil sepotong. Hampir amarah si ibu muda meledak kalau tidak ingat sedang berada di ruang VIP. Ia begitu geram melihat perbuatan pria yang dianggapnya sangat tidak sopan.

Ketika biskuit tinggal sepotong, si ibu muda bergumam dalam hati: “Coba saja! Ingin lihat apa yang akan dilakukannya.” – Konyolnya, tanpa merasa jahil, si pria membelah biskuit. Ia mengambil separoh dan mempersilahkan si ibu muda untuk menikmati sisa parohannya. Walau si pria tersenyum simpatik menawarkan, namun hati si ibu muda sudah tidak tahan. “Keterlaluan!!” rutuknya dalam hati sambil bergegas mengemasi barang dan pindah ke boarding room. Ibu muda merasa harga dirinya telah dipermainkan. Benar-benar menjijikkan laki-laki yang tidak kenal sopan santun itu!

Masih dengan kegeraman hati oleh kejadian yang baru dialaminya, akhirnya si ibu muda berusaha lebih menangkan diri setelah duduk di dalam pesawat yang akan membawanya pergi. Dia pikir, lebih cepat berangkat, lebih cepat pula melupakan si pria “kurang ajar”.

Minat untuk melanjutkan bacaan buku yang sempat tertunda tadi sudah hilang. Ibu muda ingin mencoba tidur saja. Maka, ia membuka tas jinjing miliknya untuk mengambil kaca mata. Betapa terkejutnya dia... Ternyata biskuit yang dibelinya tadi masih utuh dalam tas jinjingnya. Melihat itu mulut si ibu muda kontan ternganga dengan mata besar seperti tak percaya. Rasa malu, merasa bersalah, dan menyesal menyesak dada hingga membuatnya sulit bernafas.

Pria tadi membagi biskuit kepunyaannya kepada si ibu muda tanpa merasa marah, terganggu, ataupun merasa rugi. Sementara si ibu muda, tanpa menyelidiki terlebih dulu biskuit itu milik siapa, sudah begitu marah saat sesamanya manusia turut menikmati kebahagiaannya.

Akhir dari imel teman ini dibuat 4 hal yang tidak dapat diraih kembali: Pertama; Batu... setelah dilempar. Kedua; Kata-kata... setelah diucapkan. Ketiga; Kesempatan... setelah berlalu. Keempat; Waktu... setelah beranjak pergi.

Sungguh perenunganku hari ini benar-benar begitu dalam. Betapa seringnya aku berlaku ceroboh dalam hidup ini. Betapa kerapnya aku bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Sungguh ironinya aku sering menilai seseorang hanya dari penampilan. Bagaimana egoisnya aku tanpa berusaha menyapa sekitarku berada oleh karena merasa lebih unggul... Semoga pembaca juga bisa mengambil hikmah dari cerita di atas.! ***

Monday, August 20, 2007

Lelaki Pintar Itu...

Hidup tanpa buku,
ibarat bayi tanpa ibu,
tanpa susu,
tanpa suluh.

Ujar-ujar ini sekitar pertengahan tahun 80-an, sering sekali mampir ke telingaku. Saat itu aku masih seorang remaja beranjak dewasa yang lagi getol-getolnya membentuk sejatinya identitas diri. Hidup tanpa kiriman dari orang tua di kampung sana, yang sebenarnya sangat mampu mengirimiku uang. Tapi karena beda persepsi tentang masa depan, kuputuskan tidak lagi dikirimi uang. Aku memang telah ingkar “berbuat” pada bapakku yang ingin, aku sebagai anak tertua laki-laki, tidak meninggalkan bangku kuliah di fakultas ekonomi, yang telah dua tahun aku jalani. Tapi, hatiku berkata lain. Kepadaku, Tuhan tidak kasih talenta menjadi seorang ekonom. Aku lebih menyukai seni, terutama seni tulis menulis.

Yang membuat aku harus mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliah, karena saat dosen mengajar di depan kelas, aku malah sibuk menulis cerpen. Aku pikir, untuk apa buang-buang duit kalo ternyata aku tidak punya antensi sama sekali. Dan aku harus terima risikonya. Hubunganku dengan bapak jadi kurang harmonis.

Hidup senin-kemis tahun itu di Jakarta memang tidaklah separah sekarang. Makan di warteg masih murah. Bisa ngutang lagi kalau kita bisa ambil hati pemilik warteg. Waktu itu tekadku, harus bisa nunjukin ke among dan inong (bapak-ibu), kalau aku tidak salah langkah. Ini masalah talenta dari Yang Maha Kuasa. Harga mati!

Aku akhirnya terdampar disatu komunitas “Perpena” – Persekutuan Penulis Nasional, salah satu komunitas penulis-penulis Kristen yang “menggelandang”, di bawah asuhan penerbit YK Bina Kasih. Keikutsertaanku memang secara tidak sengaja. Hanya karena jasa seorang bapak jemaat gereja tempat aku aktif sebagai pemuda gereja, yang memperkenalkan aku kepada bapak H.A. Oppusunggu, direktur penerbit itu. Maka, sejak bergabung dengan komunitas penulis itu, aku menjadi sering mendengar ujar-ujar seperti di atas. Hampir disetiap pertemuan, Pak Oppu, begitu kami selalu memanggilnya, tak pernah absen menyebut ujar-ujar itu. Tadinya aku kurang peduli karena yang ada di otakku saat itu, gimana aku bisa menjadi seorang penulis terkenal... (kisah tentang aktivitas di Perpena ini tidak mungkin kutulis di sini karena sangat panjang cerita menariknya).

11 Agustus 2007.

Seminggu sebelum tanggal di atas. Pulang kerja sudah agak malam. Di atas meja ruang nonton tv, rumah kost, aku menemukan ada surat untukku. Ternyata undangan untuk menghadiri A Tribute to H.A. Oppusunggu. Sejenak aku tercenung. Di benakku terlintas masa suka-duka saat aktif di Perpena sekitar pertengahan tahun 80-an. Satu persatu wajah orang yang dulu begitu lekat di otakku berkelebat. Benni E Matindas, Yance Langkay, Bapak Alfred Simanjuntak, Alm. GMA. Nainggolan, Inge, Donald Korompis,... waduh siapa lagi, ya? Oh, Bapak M.S. Hutagalung, dulu dosen Sastra Indonesia di UI... Yeah, masih banyak nama yang sudah hilang dari ingatan... (Sayangnya, aku cuma bertemu dengan bapak M.S. Hutagalung).

Kuhela nafas agak berat. Di manakah mereka itu sekarang? Apakah mereka juga diundang? Betapa indah bertemu kembali. Tentu saja akan seru saling tukar cerita, atau mungkin juga membina satu kerjasama baru? Rasanya terlalu lama aku menunggu seminggu lagi untuk tanggal tersebut di atas.

Penuh harap bertemu mereka, sepagi itu aku bergegas turun di Gondangdia, tempat gedung pertemuan itu. Sebelumnya, aku mengajak bapak Benni (yang ini, seorang tua yang begitu sayang padaku. Dulu aktif sebagai pelaksana produksi di Focus, yang memproduksi Pepesan Kosong di TPI. Nama panjangnya Benni R Hamid) – Beliau ini selalu rindu untuk melayani di bidang visual walau usia udah kepala 6. Aku sering mengajak beliau, siapa tahu bisa kuperkenalkan pada orang yang mau kerja sama dengannya.

Aku call pak Benni ke HP-nya. Ternyata dia sudah berada di halaman gedung. Aku segera menemuinya. Di depan dan lobby gedung kulihat sudah banyak orang. Rapi pula semuanya. Aku sempat risih, karena pakaianku nyentrik seniman, lengkap dengan tas sandang. Seorang bapak yang di saku kemejanya terselip bunga anggrek, pertanda dia panitia hajatan, menyapa aku dan pak Benni. Bapak ini menawarkan kami untuk snack pagi dulu. Tapi kutolak dengan halus. Malah aku yang balik bertanya; “Pak, sebenarnya acara ini dalam rangka apa, ya?” – “Oh, hanya semacam ucapan syukur terima kasih pada pak Oppusunggu yang sudah mengabdi 45 tahun di Bina Kasih. Sekalian peluncuran bukunya,” sahut si bapak antusias. “Pak Oppu sudah pensiun?” tanyaku penasaran. – Betapa kaget dan tidak percayanya aku ketika si bapak itu mengatakan kalau pak Oppu sudah 2 kali terserang stroke. Yang terakhir malah sampai membuat “Lelaki Pintar itu...” lumpuh dan tidak mampu lagi berbicara. Dan... selang beberapa saat, mobil yang membawa pak Oppu tiba. Sungguh aku terdiam kaku melihat beliau begitu kurus dengan wajah pucat dan tak berdaya digendong ke atas kursi roda. Untuk menyumpainya hatiku tidak tega saking sedihnya. Si bapak kembali menerangkan kalau pak Oppu memang masih bisa mengenali orang. Tapi, aku tak sampai hati mendekatinya... Hanya doa yang bisa kupanjatkan.

Lelaki pintar itu...
Kini terlihat hanya seonggok tubuh rapuh. Ke manakah terbangnya kegalakannya, kebaikan hatinya, ketegasan prinsipnya, dan kepintarannya sebagai seorang editor handal dan pemikir keras untuk menerbitkan buku-buku berkwalitas? Di manakah sekarang antusiasme-nya untuk menciptakan komunikator-komunikator handal? Di manakah saat ini kegigihannya menerbitkan bacaan anak-anak, yang ringan tapi mudah dipahami?

Aku selalu mengingat ucapan beliau: “Tulislah cerita untuk anak-anak, bukan cerita tentang anak-anak. Tulislah naskah ilmiah yang informatif untuk anak-anak, bukan untuk anak-anak yang ilmuwan.” – Maksud beliau, seorang penulis cerita, atau artikel untuk anak-anak harus piawai berkomunikasi dengan anak-anak dalam bahasa anak-anak, sesuai dengan daya cerna atau daya nalar anak-anak.

Ucapan beliau ini baru aku sadari setelah puluhan tahun kemudian, di mana televisi swasta begitu pesat berkembang dengan segala atribut acaranya. Mayoritas tayangan untuk anak di televisi tidak seperti yang pak Oppu katakan dulu. Yang terjadi malah cerita dewasa yang dimainkan oleh anak-anak + remaja, yang ungkapan-ungkapannya juga begitu dewasa. Kusadari ucapan pak Oppu ini, sebenarnya agar pertumbuhan anak-anak berjalan normal sesuai tingkat intelektual mereka. Tidak dipaksakan menjadi anak-anak yang dewasa, sehingga mereka terkontaminasi oleh prilaku orang dewasa dan sangat tidak mendidik.

Lelaki pintar itu...
Siapa di kalangan anak-anak sekolah minggu (mungkin sekarang mereka ini sudah malah punya anak) yang tidak hafal nama H.A. Oppusunggu, yang banyak menulis, membuat, menterjemahkan komik dan cerita-cerita Alkitab? Siapa yang tak kenal H.A. Oppusunggu, lelaki pintar itu... di kalangan penerbit, khususnya penerbit Kristen?

Lelaki yang kini tak berdaya oleh stroke dan diabetes yang merenggut kepintarannya itu, hanya menatap kosong, entah apa yang berkecamuk di pikirannya. Lelaki yang dulu kurang kusukai, tapi sekaligus guru yang kuhormati dan selalu kurindu ketegasan-ketegasan bicaranya, hanya mampu kutatap dari jauh. Terlalu banyak ilmu editor buku dan tulis menulis yang kudapat dari beliau.

Panas terik dalam bisu kulewati bersama pak Benni melintasi jalan Cikini Raya. Kutatap buku yang baru diluncurkan tadi, seukuran kwuarto dengan tulisan warna coklat “Melayankan Injil Melalui Media”, dengan latar sampul warna putih. Lalu gambar sketsa H.A. Oppusunggu menghiasi sampul itu, lengkap oretan tanda tangannya. Di sketsa itu tampak senyum khas beliau dengan kaca mata sebagai salah satu ciri khasnya.

Lelaki pintar itu...
Kini tidak lagi punya apa-apa. Hanya seonggok tubuh rapuh yang tak mampu lagi menggoreskan pulpen warnanya ke atas naskah yang dieditnya. Aku tersadar... Manusia sehebat (setidaknya menurut pandanganku), H.A. Oppusunggu yang punya banyak akses ke luar negerti dan dikagumi, ternyata tak selamanya kokoh. Aku tersadar... Manusia ternyata tidak punya kekuatan apa-apa bila uzur telah datang. Bila saatnya tiba, semua kekuatan, kekayaan, kepopuleran dan kepintaran kita cuma sebatas kenangan.

Tulisan ini aku buat, selain untuk menghormati guruku, H.A. Oppusunggu, yang kini tak berdaya, juga sebagai gambaran kepada kita semua, bahwa semasih kita bisa berbuat amal baik, janganlah pernah menunda. Rendahkanlah hatimu ketika kau disanjung tinggi. Janganlah mencari kekayaan, tapi jadilah kaya...

Lelaki pintar itu...
Bernama asli, Hasoloan Aritonang Oppusunggu. Lahir 10 Mei 1937 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Berasal dari keluarga Kristen sederhana. Anak ke-3 dan satu-satunya laki-laki dari lima bersaudara. Zaman pemberontakan PRRI, sekitar tahun 1950-an, ia dipenjara karena termasuk orang yang kritis terhadap pemerintah. Pernah bekerja sebagai anggota redaksi sebuah surat kabar nasional di Pekanbaru. Sejak SMP, lelaki “siantarman” ini sudah menulis artikel ke koran. Salah satu judul artikelnya “Hartawan Rakus” – yang mungkin karena landasan inilah kehidupan pak Oppu selalu terlihat sederhana dan bersahaja.

Doaku bersamamu selalu. Ajar-ajarmu takkan tertinggal mati. Walau tubuhmu saat ini tak lagi dalam kuasamu, tapi buah karyamu tak lekang ditelan masa. Ujar-ujarmu: Hidup tanpa buku, ibarat bayi tanpa ibu, tanpa susu, tanpa suluh, adalah pemikiran yang patut diamini setiap orang. ***

Nestor: Irama Tembang Purba

Rimba terkesiap. Jantungnya berdebar lebih keras. Ayunan tangan yang gemulai itu membuat ketiak gadis itu tersingkap. Kedua bukit yang tersimpan di balik lilitan kain sarung bergoyang kenyal. Rimba menelan ludah. Goyangan itu membuat kedua bukit itu seakan mau melompat menembus kain yang membalutnya...


Nukilan kisah di atas adalah penggalan yang saya kutip dari cerpen Irama Tembang Purba karya Nestor Rico Tambunan. Judul cerpen itupun menjadi label dari buku Kumpulan Cerpen Pilihan, yang diterbitkan tahun 2004 oleh Penerbit Progres Jakarta. Di dalam buku ini ada 12 cerpen dari berbagai aliran penulis, seperti paparan editornya, Nadjib Kartapati Z, dalam Kata Pengantar; “Dalam kumpulan ini Anda akan menjumpai berbagai jenis cerpen yang bernuansa misteri, klasik, psikologi dan bahkan remaja...”

Awal membaca judul cerpen Nestor ini, saya sempat dibuat berpikir keras. Apa maksudnya Irama Tembang Purba? Saya coba mengartikan kalau itu berhubungan dengan nyanyian atau musik tradisional – atau irama nyanyian zaman purba (?). Namun setelah membaca tuntas cerpen itu, saya malah tidak menemukan secuil pun cerita tentang sebuah “tembang”. Satu pemilihan judul tulisan yang memikat dan penuh makna. Itulah salah satu kelebihan lae kita si Nestor, anak kelahiran Hutajulu, Lumban Lobu, Tapanuli Utara ini dalam membuat judul-judul tulisannya sejak dulu. Memikat, penuh rangsangan untuk membaca tulisan dari judul yang dibuat. Dalam penulisan pun, Nestor selalu fokus dengan bahasa yang gamblang dan sedikit puitis dalam menggambarkan situasi. Nestor juga tidak ragu-ragu mengkritisi ketidak-benaran yang dilihatnya. Jiwa jurnalis sejati begitu kuat melekat dalam dirinya, ditambah rasa ketidak-sungkanan diri seorang anak Batak untuk mengatakan “tidak” jika “tidak” dan “ya” bila memang harus “ya”.

Saya tertarik membahas cerpen “Irama Tembang Purba” ini, karena saya sungguh mendapat satu kejutan yang lucu sekaligus ironis. Kalau kandungan ceritanya sendiri, streotip dengan cerita-cerita percintaan sepasang anak manusia yang sudah banyak dimunculkan. Kelebihan seorang penulis cerita, ketika si penulis bisa mengangkat satu cerita yang sudah lumrah terbaca umum, namun ditelaah dari sudut yang berbeda dalam keunikan akar budaya tokoh dalam cerita. Saya anggap, Nestor berhasil memunculkannya dalam cerita ini.

Rimba, si anak desa yang lugu, digambarkan begitu kaget dan terpesonanya saat menyadari kalau Orsina, putri Ompu Porhas, dukun yang merangkap raja adat di desa mereka - dan sejak kecil Rimba sudah mengenal Orsina – kini telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang menggairahkan dengan tonjoloan bukit dadanya yang kenyal. Hal inilah kemudian yang membuat hari-hari Rimba begitu menggelisahkan. Menghadirkan perasaan tak bernama di sudut hatinya... (ungkapan Nestor dalam ceritanya ini). Dan bagi Rimba, perasaan tak ternama itu bagai tembang purba; asing, tetapi agung dan menggetarkan sukma, betapa nikmat.

Alinea demi alinea membaca cerita ini, Nestor berhasil memberi “kegemasan” bagi pembacanya dengan cara tuturnya yang begitu memikat; ...Rimba baru saja membantu menaikkan hudon ke atas kepala Orsina. Rimba mengangkat bibir atas gentong tanah liat itu, sementara Orsina memegangi bawahnya. Ketika Rimba mengangkat, Orsina menyorongkan kepalanya ke pantat hudon. Gerakan yang kurang terukur membuat bukit Orsina menyentuh tipis dada Rimba yang telanjang. Srrr. Rimba terpaku bagai kena tenung, terdiam bagai patung.

Saya begitu gemas membayangkan bagian ini. Saya rasakan Rimba itu adalah saya, Orsina itu wanita yang paling saya taksir. Sayangnya, Rimba tidak mudah menguntai harapan cintanya. Amang Jonggur, ayah Rimba, terkejut mendengar permintaan putra kesayangannya itu untuk melamarkan Orsina untuknya. Di samping status ayah Orsina yang begitu disegani penduduk, sudah pasti Amang Jonggur tidak mampu memberi boli, mas kawin, sebagai syarat. Tapi, Rimba ngotot harus kawin dengan Orsina. Ayahnya tak tega juga.

Sialnya, Ompu Porhas tidak menolak lamaran itu asal boli-nya enam kerbau dan empat petak kebun. Dukun dan raja adat itupun meminta waktu seminggu sebelum menerima lamaran itu secara sah. “Seperti diwariskan kakek moyang kita, kita perlu menangkap isyarat sebelum melakukan sesuatu.” Alasan Ompu Porhas sehingga meminta waktu seminggu.

Dari sinilah cerita makin menarik. Nestor cukup piawai menghadirkan esensi dari budaya adat di desanya si Rimba. Hal ini tentu saja semakin memikat untuk konflik yang akan dibangun semacam suatu perjuangan tokoh cerita dalam menggapai tujuannya. Dan yang menarik buat saya, ketika Rimba harus dihadapkan pada kepercayaan turunan dari leluhur. Konyolnya, selama ‘menangkap isyarat’ boleh tidaknya melakukan sesuatu, harus seturut kajian Ompu Porhas sebagai dukun dan raja adat. Adakalanya melalui mimpi atau ada burung elang yang berkuik-kuik sambil berputar-putar di atas rumah Ompu Porhas. Rimba tidak terima. Ia curiga akan manfaat wewenang yang diberikan kepada Ompu Porhas. Bagaimana kalau Ompu Porhas tidak menyukai Rimba? Bukankah dengan enteng dia bisa berkata kalau isyarat yang dia dapat, mereka tidak bisa menikah. Bah...?!

Membaca kelanjutan cerita ini, saya sungguh mendapat pencerahan bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia merdeka, bisa menjadi bijak dalam menanggapi atau menyikapi prihal adat istiadat yang sudah turun temurun dimiliki manusia. Apalagi zaman ini semakin canggih, dan orang kian mudah mempertentangkan iman agamanya terhadap budaya adat.

Tiga hari sudah penantian yang mendebarkan itu. Tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Rimba semakin tak sabar. Rasanya ia ingin siang cepat-cepat berganti dengan malam, memperoleh jawaban, kemudian... menyunting Orsina! O, impian yang mendebarkan...

Saya sendiri membaca kelanjutan cerita ini turut berdebar. Amangoi...! Pada hari ke-4 penantian tiba-tiba burung Sipahut mencicit-cicit pedih di atas bubungan jabu gorga, rumah ukir, milik Ompu Porhas. Orang sekampung, termasuk Rimba, tahu bahwa cicitan burung bermuka hantu itu pertanda buruk.

Seturut cerita Nestor ini, bila ada kejadian seperti itu, Ompu Porhas akan segera memerintahkan kepada penduduk untuk membatalkan segala niat berhelat, dan menyuruh memberikan persembahan kepada Ompu Mulajadi Na Bolon.

“Tidak, Sina! Hubungan kita tidak boleh putus karena burung itu,” ujar Rimba menunjukkan kegalauan hatinya saat bertemu Orsina yang turut sedih. – Menurut Rimba, burung “sialan” itu masih satu malam bercicit, belum tiga malam. Harapannya masih ada dua malam lagi. Penduduk desa pun tahu itu.

Sampai di sini, saya belum bisa menebak ke mana akhir cerita ini. Apalagi malam keduanya, burung itu masih tetap mencicit. Alamat pertanda buruk bagi Rimba. Dan akhirnya aku tertawa tanpa bisa kutahan. Malam ketiga burung itu tidak lagi mecicit. Orang sekampung geger. Pesta perhelatan putri raja adat mereka akan segera digelar. Betapa beruntungnya (mungkin) Amang Jonggur berbesan dengan orang yang peling dihormati di desa mereka.

Pembaca. Tahu tidak kenapa saya akhirnya tertawa sekaligus merasakan ke-ironi-an? Nestor sungguh mampu memberi akhir dari ceritanya dengan satu kejutan besar. Burung Sipahut itu tidak lagi mencicit pada malam ketiga, ternyata karena siang harinya sudah diketapel oleh Rimba, mati. Ya, jelas saja tidak mencicit lagi. Sekarang, apa yang kita dapat dari Irama Tembang Purba ini? – Mungkin cinta sejati yang penuh pengorbanan dengan tidak peduli akan “ke-magis-an” budaya adat leluhur? Ternyata, Nestor mengistilahkan “Irama Tembang Purba” ini sebagai cinta kasih. Bahwa sejak terciptanya manusia di dunia ini, yang namanya cinta, saling cinta, cinta yang berpadu sudah ada. Bahwa kalau dua insan sudah saling mencinta, dan cinta itu sudah ada sejak purba, apapun akan dilakukan. Tergantung bagaimana kita mengarahkannya kepada kebenaran cinta itu sendiri. Tapi, saya tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan Romeo & Juliet...

Rimba telah mengetapel dan membuang burung yang mereka anggap sakti itu sebelum hinggap dan mencicit di atas bubungan jabu gorga, rumah ukir Ompu Porhas, pada malam ketiga. Ia nekat. Ia tak mau kehilangan tembang purba yang menggetarkan irama sukma dan denyut nadinya. Ia ingin tembang itu mengalun sampai ke masa hidup anak cucunya. Anak cucu Orsina.

Aturan adat istiadat memang penting dan patut kita hormati. Hanya saja, setiap mereka yang ditunjuk sebagai “punggawa” dari setiap sisi budaya adat itu janganlah sampai menyalahgunakan demi kepentingan diri sendiri. Biarlah budaya adat, tidak melulu tradisional, beriringan seturut mengalirnya hidup kita sehari-hari tanpa ada yang tersakiti dan yang menyakiti. ***

Thursday, July 12, 2007

GURU TAK LAGI PAHLAWAN TANPA JASA

KETIKA biskota yang saya tumpangi tersendat menjelang halte MPR/DPR, kecurigaan timbul karena tidak biasanya. Saya coba cari tahu, ternyata para guru dari berbagai daerah yang tergabung dalam paguyuban PGRI sedang berdemo menuntut kenaikan biaya pendidikan 20%. Saya sempat merasa tergugah, dan dalam hati berdoa agar pemerintah lebih memberi perhatian pada nasib pendidikan di negeri ini.

Saya jadi terkenang pada guru-guru saya dulu. Mereka sangat memiliki rasa terbeban dalam pengabdian. Lebih mementingkan bagaimana para murid jadi orang pintar. Tak heran, zaman itu guru berani bersikap tegas, dan orangtua murid mengamini. Saya masih ingat gimana takutnya kami waktu itu bertemu dengan guru. Orangtua hampir tidak ada yang protes ketika mendapati di betis anaknya ada memar karena dipukul guru pake penggaris kayu. Guru begitu punya wibawa yang kuat di mata masyarakat.

Sekarang? Alahualam... Yang tadinya saya berempati pada guru, tiba-tiba sirnah setelah mengalami perlakuan guru dari sma negeri 12 medan. Putri pertama saya ditawari bisa masuk ke sekolah tersebut asal dikasih upeti sekian juta. Nyatanya? Putri saya tidak lulus. Maka, mengingat kesepakatan awal, kalau tidak lulus uang dikembalikan, guru tersebut dengan enaknya berkilah, hanya bisa mengembalikan separoh karena sudah keburu dibagi-bagi kepada guru lain (?????) - Enak benar, ya? - Gak ada perjuangan bisa-bisa dapat uang "yang kayak jatuh begitu saja dari langit". Masihkah kita berempati pada nasib guru? Saya sih enggak...
Yeah..., masih ada sih guru-guru yang punya idealisme. Mereka yang mengabdi di pedalaman atau di suatu desa tertinggal. Buat mereka doaku selalu ada. Tapi, guru-guru di kota yang sudah terkontaminasi dengan urusan konsumerisme, maaf... tak ada lagi rasa empati saya. Dari pengamatan saya, tidak ada guru di kota-kota besar yang tidak memikirkan, gimana agar bisa membisniskan profesinya... Siapa yang salah? Pemerintah? Paguyuban guru? - Mungkin yang salah sistemnya. Capek deng ngomongin "kemuliaan guru" ... ***

Wednesday, July 4, 2007

Obrolan Sopir & Kernet / Grogol Diwaktu Malam

Hidup di rantau memang tidak pasti apalagi kalau orang tersebut tidak memiliki skill, yang tentu saja bisa diandalkan untuk bersaing. Namun kenyataan sehari-hari para urban di kota Metropolitan, Jakarta - tidak terlalu memusingkan soal keahlian ini. "Ah, kalau soal ahli, semua orang pasti punyalah..." celetuk saudaraku sebangsa, Parlindungan, yang sudah 5 tahun terakhir ini jadi sopir biskota. Sebelumnya, Parlin, panggilan akrabnya, ke Jakarta mau nerusin kuliah. Sayang, baru semester 5, dia drop-out karena among-nya (bapak) di kampung sana keburu dipanggil Yang Maha Kuasa.
"Ahli apanya yang lae maksud?" tukas Si Soduon, kernet Parlin. "Bukankah keahlian itu didapat dari bangku sekolah?" lanjut Soduon, yang cuma tamat SMP.
"Betul kata kau... Tapi, keahlian dari bangku sekolah itu kan namanya keahlian teoritis. Tapi, yang utama adalah keahlian karena talenta yang kau punya?"
"Bicara apa pula lagi lae ini? Talenta itu semacam apa lae? Apa itu makanan orang Jakarta?" Soduon bingung. Maklum saja. Ke Jakarta dia karena gak sengaja. Dia baru 6 bulan tiba. Tadinya dia bekerja sebagai tukang cuci truk Medan-Jakarta yang beristirahat di Lumban Dolok, Parapat. Entah bagaimana, atau mungkin terlalu capek, Soduon tertidur di atas terpal truk sehingga tidak diketahui sopir dan kernetnya. Barulah esok harinya, setiba di Pekanbaru, Soduon kaget melihat hari sudah terang dan langit dilihatnya berjalan cepat. Ketika dia bangkit hampir saja terjatuh dari atas truk, pusing melihat truk yang kemarin sore dicucinya sudah meluncur membelah jalan Lintas Sumatera... Nasib kaulah itu, nak!
"Talenta itu adalah bakat yang kamu miliki..."
"Ohhh...! Contohnya, aku pintar nyanyi tanpa diajari. Atau, aku bisa jadi sopir, juga tanpa diajari? Gitu kan maksudnya?"
"Iya, mirip-mirip kayak gitulah itu..." sergah Parlin males banget.
"Terus, kalo mencopet itu keahlian atau talenta, lae?
Parlin sontak menoleh pada Soduon yang sedang menyapu bis, setelah seharian mereka mengutak-atik kerusakannya. Maklum sajalah. Biskota di Jakarta kan kebanyakan "sampah" dari Korea dan Jepang.
"Yang jelas mencopet itu..., nanti kau bakal masuk nereka. Ada-ada saja pertanyaan kau. Cepatlah kau sapu itu biar kita pulang dari pool ini..." Ketus Parlin sambil berlalu meninggalkan Soduon yang tinggal melongo. "Tadi masih baek-baek diajak bicara. Kok, tiba-tiba sewot gitu? Ah, macam-macam saja lae Parlin itu."
Soduon sampai menanyakan soal pencopet karena dia sering dipelototi tukang copet yang naik ke bis mereka. Sebenarnya, Soduon ingin kasih tahu para penumpang bahwa copet mau beraksi. Tapi, dia takut para copet itu mencabut nyawanya yang memang cuma satu.
***
COPET memang menyebalkan.
Kala malam mulai selimuti cakrawala Grogol, langkahku selalu terhenti di halte dekat Citraland. Biasanya, bis yang hendak aku tumpangi 976 (Steady Safe) - Manggarai-Grogol, datangnya selalu lama. Kalo gak salah dengar dari kondektrunya, tiap hari bis ini dioperasikan hanya tiga. Bahkan kadang cuma 2 bis.
Karena terlalu lama menunggu, iseng aja aku suka merhatiin orang-orang di sekitar. Semua serba capek setelah seharian kerja. Pada bis-bis tertentu selalu terlihat rebutan naik. Kadang, penumpang yang mau turun sampai kesulitan keluar. Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan para copet itu. Mereka pura-pura ikut berdesak. Biasanya mereka berkelompok minimal 3 orang.
Anehnya, di dekat situ ada pos bantu polisi. Tapi mereka seakan tidak pernah takut lagi sama aparat yang diharapkan masyarakat ini bisa memberi kenyamanan dan keamanan. Di situ juga aku lihat para "timer" yang selalu memalak setiap bis yang mampir. Aku suka gak habis pikir, apa fungsi dan kontribusi mereka berada di sana. Dibilang untuk mengatur bis atau metromini agar teratur hingga tidak membuat jalanan macet, nyatanya mereka tidak pernah ambil pusing keadaan itu. Ketika mereka sudah dapat uang dari para awak bis, para timer itu langsung pergi mengejar bis yang lain.
Ketika iseng aku bertanya pada seorang bapak yang katanya tiap hari selalu nunggu bis ke arah Cileungsi, kenapa polisi yang ada di situ tidak menindak mereka? - Jawaban si bapak sangat mengejutkan aku. Katanya, para timer itu memberi setoran kepada para bapak aparat kita itu. "Oh, pantes aja di sekitar sini tidak pernah terjadi tawuran para preman berebut lahan. Rupanya sudah dibekingi aparat... Astaghfirullah! Aku cuma masem mendengarnya. Pikiran aku tergelitik;
"Kapan sih bapak Polisi negeri ini dapat diandalkan masyarakat tanpa harus mengeluarkan duit? Bukankah mereka digaji dari uang rakyat, yang notabone telah bayar pajak, baik sebagai wajib pajak maupun dari pajak-pajak lainnya?"
Lamunan sontak buyar. Suara Ames, kondektur 976 yang sudah akrab dengan aku terdengar meneriakkan : "Slipi, Kuningan, Pancoran, Manggarai... Manggarai...!!!"
Aku terdiam duduk dalam bis. Terlalu capek bekerja seharian. Mataku ingin refreshing memandangi lampu hias sepanjang jalan. Bau tempat tidurku mulai kurasakan merasuk sanubari... Selamat malam sopir dan kernet bis... Selamat berlalu malam di Grogol. ***