Monday, August 20, 2007

Lelaki Pintar Itu...

Hidup tanpa buku,
ibarat bayi tanpa ibu,
tanpa susu,
tanpa suluh.

Ujar-ujar ini sekitar pertengahan tahun 80-an, sering sekali mampir ke telingaku. Saat itu aku masih seorang remaja beranjak dewasa yang lagi getol-getolnya membentuk sejatinya identitas diri. Hidup tanpa kiriman dari orang tua di kampung sana, yang sebenarnya sangat mampu mengirimiku uang. Tapi karena beda persepsi tentang masa depan, kuputuskan tidak lagi dikirimi uang. Aku memang telah ingkar “berbuat” pada bapakku yang ingin, aku sebagai anak tertua laki-laki, tidak meninggalkan bangku kuliah di fakultas ekonomi, yang telah dua tahun aku jalani. Tapi, hatiku berkata lain. Kepadaku, Tuhan tidak kasih talenta menjadi seorang ekonom. Aku lebih menyukai seni, terutama seni tulis menulis.

Yang membuat aku harus mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliah, karena saat dosen mengajar di depan kelas, aku malah sibuk menulis cerpen. Aku pikir, untuk apa buang-buang duit kalo ternyata aku tidak punya antensi sama sekali. Dan aku harus terima risikonya. Hubunganku dengan bapak jadi kurang harmonis.

Hidup senin-kemis tahun itu di Jakarta memang tidaklah separah sekarang. Makan di warteg masih murah. Bisa ngutang lagi kalau kita bisa ambil hati pemilik warteg. Waktu itu tekadku, harus bisa nunjukin ke among dan inong (bapak-ibu), kalau aku tidak salah langkah. Ini masalah talenta dari Yang Maha Kuasa. Harga mati!

Aku akhirnya terdampar disatu komunitas “Perpena” – Persekutuan Penulis Nasional, salah satu komunitas penulis-penulis Kristen yang “menggelandang”, di bawah asuhan penerbit YK Bina Kasih. Keikutsertaanku memang secara tidak sengaja. Hanya karena jasa seorang bapak jemaat gereja tempat aku aktif sebagai pemuda gereja, yang memperkenalkan aku kepada bapak H.A. Oppusunggu, direktur penerbit itu. Maka, sejak bergabung dengan komunitas penulis itu, aku menjadi sering mendengar ujar-ujar seperti di atas. Hampir disetiap pertemuan, Pak Oppu, begitu kami selalu memanggilnya, tak pernah absen menyebut ujar-ujar itu. Tadinya aku kurang peduli karena yang ada di otakku saat itu, gimana aku bisa menjadi seorang penulis terkenal... (kisah tentang aktivitas di Perpena ini tidak mungkin kutulis di sini karena sangat panjang cerita menariknya).

11 Agustus 2007.

Seminggu sebelum tanggal di atas. Pulang kerja sudah agak malam. Di atas meja ruang nonton tv, rumah kost, aku menemukan ada surat untukku. Ternyata undangan untuk menghadiri A Tribute to H.A. Oppusunggu. Sejenak aku tercenung. Di benakku terlintas masa suka-duka saat aktif di Perpena sekitar pertengahan tahun 80-an. Satu persatu wajah orang yang dulu begitu lekat di otakku berkelebat. Benni E Matindas, Yance Langkay, Bapak Alfred Simanjuntak, Alm. GMA. Nainggolan, Inge, Donald Korompis,... waduh siapa lagi, ya? Oh, Bapak M.S. Hutagalung, dulu dosen Sastra Indonesia di UI... Yeah, masih banyak nama yang sudah hilang dari ingatan... (Sayangnya, aku cuma bertemu dengan bapak M.S. Hutagalung).

Kuhela nafas agak berat. Di manakah mereka itu sekarang? Apakah mereka juga diundang? Betapa indah bertemu kembali. Tentu saja akan seru saling tukar cerita, atau mungkin juga membina satu kerjasama baru? Rasanya terlalu lama aku menunggu seminggu lagi untuk tanggal tersebut di atas.

Penuh harap bertemu mereka, sepagi itu aku bergegas turun di Gondangdia, tempat gedung pertemuan itu. Sebelumnya, aku mengajak bapak Benni (yang ini, seorang tua yang begitu sayang padaku. Dulu aktif sebagai pelaksana produksi di Focus, yang memproduksi Pepesan Kosong di TPI. Nama panjangnya Benni R Hamid) – Beliau ini selalu rindu untuk melayani di bidang visual walau usia udah kepala 6. Aku sering mengajak beliau, siapa tahu bisa kuperkenalkan pada orang yang mau kerja sama dengannya.

Aku call pak Benni ke HP-nya. Ternyata dia sudah berada di halaman gedung. Aku segera menemuinya. Di depan dan lobby gedung kulihat sudah banyak orang. Rapi pula semuanya. Aku sempat risih, karena pakaianku nyentrik seniman, lengkap dengan tas sandang. Seorang bapak yang di saku kemejanya terselip bunga anggrek, pertanda dia panitia hajatan, menyapa aku dan pak Benni. Bapak ini menawarkan kami untuk snack pagi dulu. Tapi kutolak dengan halus. Malah aku yang balik bertanya; “Pak, sebenarnya acara ini dalam rangka apa, ya?” – “Oh, hanya semacam ucapan syukur terima kasih pada pak Oppusunggu yang sudah mengabdi 45 tahun di Bina Kasih. Sekalian peluncuran bukunya,” sahut si bapak antusias. “Pak Oppu sudah pensiun?” tanyaku penasaran. – Betapa kaget dan tidak percayanya aku ketika si bapak itu mengatakan kalau pak Oppu sudah 2 kali terserang stroke. Yang terakhir malah sampai membuat “Lelaki Pintar itu...” lumpuh dan tidak mampu lagi berbicara. Dan... selang beberapa saat, mobil yang membawa pak Oppu tiba. Sungguh aku terdiam kaku melihat beliau begitu kurus dengan wajah pucat dan tak berdaya digendong ke atas kursi roda. Untuk menyumpainya hatiku tidak tega saking sedihnya. Si bapak kembali menerangkan kalau pak Oppu memang masih bisa mengenali orang. Tapi, aku tak sampai hati mendekatinya... Hanya doa yang bisa kupanjatkan.

Lelaki pintar itu...
Kini terlihat hanya seonggok tubuh rapuh. Ke manakah terbangnya kegalakannya, kebaikan hatinya, ketegasan prinsipnya, dan kepintarannya sebagai seorang editor handal dan pemikir keras untuk menerbitkan buku-buku berkwalitas? Di manakah sekarang antusiasme-nya untuk menciptakan komunikator-komunikator handal? Di manakah saat ini kegigihannya menerbitkan bacaan anak-anak, yang ringan tapi mudah dipahami?

Aku selalu mengingat ucapan beliau: “Tulislah cerita untuk anak-anak, bukan cerita tentang anak-anak. Tulislah naskah ilmiah yang informatif untuk anak-anak, bukan untuk anak-anak yang ilmuwan.” – Maksud beliau, seorang penulis cerita, atau artikel untuk anak-anak harus piawai berkomunikasi dengan anak-anak dalam bahasa anak-anak, sesuai dengan daya cerna atau daya nalar anak-anak.

Ucapan beliau ini baru aku sadari setelah puluhan tahun kemudian, di mana televisi swasta begitu pesat berkembang dengan segala atribut acaranya. Mayoritas tayangan untuk anak di televisi tidak seperti yang pak Oppu katakan dulu. Yang terjadi malah cerita dewasa yang dimainkan oleh anak-anak + remaja, yang ungkapan-ungkapannya juga begitu dewasa. Kusadari ucapan pak Oppu ini, sebenarnya agar pertumbuhan anak-anak berjalan normal sesuai tingkat intelektual mereka. Tidak dipaksakan menjadi anak-anak yang dewasa, sehingga mereka terkontaminasi oleh prilaku orang dewasa dan sangat tidak mendidik.

Lelaki pintar itu...
Siapa di kalangan anak-anak sekolah minggu (mungkin sekarang mereka ini sudah malah punya anak) yang tidak hafal nama H.A. Oppusunggu, yang banyak menulis, membuat, menterjemahkan komik dan cerita-cerita Alkitab? Siapa yang tak kenal H.A. Oppusunggu, lelaki pintar itu... di kalangan penerbit, khususnya penerbit Kristen?

Lelaki yang kini tak berdaya oleh stroke dan diabetes yang merenggut kepintarannya itu, hanya menatap kosong, entah apa yang berkecamuk di pikirannya. Lelaki yang dulu kurang kusukai, tapi sekaligus guru yang kuhormati dan selalu kurindu ketegasan-ketegasan bicaranya, hanya mampu kutatap dari jauh. Terlalu banyak ilmu editor buku dan tulis menulis yang kudapat dari beliau.

Panas terik dalam bisu kulewati bersama pak Benni melintasi jalan Cikini Raya. Kutatap buku yang baru diluncurkan tadi, seukuran kwuarto dengan tulisan warna coklat “Melayankan Injil Melalui Media”, dengan latar sampul warna putih. Lalu gambar sketsa H.A. Oppusunggu menghiasi sampul itu, lengkap oretan tanda tangannya. Di sketsa itu tampak senyum khas beliau dengan kaca mata sebagai salah satu ciri khasnya.

Lelaki pintar itu...
Kini tidak lagi punya apa-apa. Hanya seonggok tubuh rapuh yang tak mampu lagi menggoreskan pulpen warnanya ke atas naskah yang dieditnya. Aku tersadar... Manusia sehebat (setidaknya menurut pandanganku), H.A. Oppusunggu yang punya banyak akses ke luar negerti dan dikagumi, ternyata tak selamanya kokoh. Aku tersadar... Manusia ternyata tidak punya kekuatan apa-apa bila uzur telah datang. Bila saatnya tiba, semua kekuatan, kekayaan, kepopuleran dan kepintaran kita cuma sebatas kenangan.

Tulisan ini aku buat, selain untuk menghormati guruku, H.A. Oppusunggu, yang kini tak berdaya, juga sebagai gambaran kepada kita semua, bahwa semasih kita bisa berbuat amal baik, janganlah pernah menunda. Rendahkanlah hatimu ketika kau disanjung tinggi. Janganlah mencari kekayaan, tapi jadilah kaya...

Lelaki pintar itu...
Bernama asli, Hasoloan Aritonang Oppusunggu. Lahir 10 Mei 1937 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Berasal dari keluarga Kristen sederhana. Anak ke-3 dan satu-satunya laki-laki dari lima bersaudara. Zaman pemberontakan PRRI, sekitar tahun 1950-an, ia dipenjara karena termasuk orang yang kritis terhadap pemerintah. Pernah bekerja sebagai anggota redaksi sebuah surat kabar nasional di Pekanbaru. Sejak SMP, lelaki “siantarman” ini sudah menulis artikel ke koran. Salah satu judul artikelnya “Hartawan Rakus” – yang mungkin karena landasan inilah kehidupan pak Oppu selalu terlihat sederhana dan bersahaja.

Doaku bersamamu selalu. Ajar-ajarmu takkan tertinggal mati. Walau tubuhmu saat ini tak lagi dalam kuasamu, tapi buah karyamu tak lekang ditelan masa. Ujar-ujarmu: Hidup tanpa buku, ibarat bayi tanpa ibu, tanpa susu, tanpa suluh, adalah pemikiran yang patut diamini setiap orang. ***

No comments: