Thursday, July 12, 2007

GURU TAK LAGI PAHLAWAN TANPA JASA

KETIKA biskota yang saya tumpangi tersendat menjelang halte MPR/DPR, kecurigaan timbul karena tidak biasanya. Saya coba cari tahu, ternyata para guru dari berbagai daerah yang tergabung dalam paguyuban PGRI sedang berdemo menuntut kenaikan biaya pendidikan 20%. Saya sempat merasa tergugah, dan dalam hati berdoa agar pemerintah lebih memberi perhatian pada nasib pendidikan di negeri ini.

Saya jadi terkenang pada guru-guru saya dulu. Mereka sangat memiliki rasa terbeban dalam pengabdian. Lebih mementingkan bagaimana para murid jadi orang pintar. Tak heran, zaman itu guru berani bersikap tegas, dan orangtua murid mengamini. Saya masih ingat gimana takutnya kami waktu itu bertemu dengan guru. Orangtua hampir tidak ada yang protes ketika mendapati di betis anaknya ada memar karena dipukul guru pake penggaris kayu. Guru begitu punya wibawa yang kuat di mata masyarakat.

Sekarang? Alahualam... Yang tadinya saya berempati pada guru, tiba-tiba sirnah setelah mengalami perlakuan guru dari sma negeri 12 medan. Putri pertama saya ditawari bisa masuk ke sekolah tersebut asal dikasih upeti sekian juta. Nyatanya? Putri saya tidak lulus. Maka, mengingat kesepakatan awal, kalau tidak lulus uang dikembalikan, guru tersebut dengan enaknya berkilah, hanya bisa mengembalikan separoh karena sudah keburu dibagi-bagi kepada guru lain (?????) - Enak benar, ya? - Gak ada perjuangan bisa-bisa dapat uang "yang kayak jatuh begitu saja dari langit". Masihkah kita berempati pada nasib guru? Saya sih enggak...
Yeah..., masih ada sih guru-guru yang punya idealisme. Mereka yang mengabdi di pedalaman atau di suatu desa tertinggal. Buat mereka doaku selalu ada. Tapi, guru-guru di kota yang sudah terkontaminasi dengan urusan konsumerisme, maaf... tak ada lagi rasa empati saya. Dari pengamatan saya, tidak ada guru di kota-kota besar yang tidak memikirkan, gimana agar bisa membisniskan profesinya... Siapa yang salah? Pemerintah? Paguyuban guru? - Mungkin yang salah sistemnya. Capek deng ngomongin "kemuliaan guru" ... ***

Wednesday, July 4, 2007

Obrolan Sopir & Kernet / Grogol Diwaktu Malam

Hidup di rantau memang tidak pasti apalagi kalau orang tersebut tidak memiliki skill, yang tentu saja bisa diandalkan untuk bersaing. Namun kenyataan sehari-hari para urban di kota Metropolitan, Jakarta - tidak terlalu memusingkan soal keahlian ini. "Ah, kalau soal ahli, semua orang pasti punyalah..." celetuk saudaraku sebangsa, Parlindungan, yang sudah 5 tahun terakhir ini jadi sopir biskota. Sebelumnya, Parlin, panggilan akrabnya, ke Jakarta mau nerusin kuliah. Sayang, baru semester 5, dia drop-out karena among-nya (bapak) di kampung sana keburu dipanggil Yang Maha Kuasa.
"Ahli apanya yang lae maksud?" tukas Si Soduon, kernet Parlin. "Bukankah keahlian itu didapat dari bangku sekolah?" lanjut Soduon, yang cuma tamat SMP.
"Betul kata kau... Tapi, keahlian dari bangku sekolah itu kan namanya keahlian teoritis. Tapi, yang utama adalah keahlian karena talenta yang kau punya?"
"Bicara apa pula lagi lae ini? Talenta itu semacam apa lae? Apa itu makanan orang Jakarta?" Soduon bingung. Maklum saja. Ke Jakarta dia karena gak sengaja. Dia baru 6 bulan tiba. Tadinya dia bekerja sebagai tukang cuci truk Medan-Jakarta yang beristirahat di Lumban Dolok, Parapat. Entah bagaimana, atau mungkin terlalu capek, Soduon tertidur di atas terpal truk sehingga tidak diketahui sopir dan kernetnya. Barulah esok harinya, setiba di Pekanbaru, Soduon kaget melihat hari sudah terang dan langit dilihatnya berjalan cepat. Ketika dia bangkit hampir saja terjatuh dari atas truk, pusing melihat truk yang kemarin sore dicucinya sudah meluncur membelah jalan Lintas Sumatera... Nasib kaulah itu, nak!
"Talenta itu adalah bakat yang kamu miliki..."
"Ohhh...! Contohnya, aku pintar nyanyi tanpa diajari. Atau, aku bisa jadi sopir, juga tanpa diajari? Gitu kan maksudnya?"
"Iya, mirip-mirip kayak gitulah itu..." sergah Parlin males banget.
"Terus, kalo mencopet itu keahlian atau talenta, lae?
Parlin sontak menoleh pada Soduon yang sedang menyapu bis, setelah seharian mereka mengutak-atik kerusakannya. Maklum sajalah. Biskota di Jakarta kan kebanyakan "sampah" dari Korea dan Jepang.
"Yang jelas mencopet itu..., nanti kau bakal masuk nereka. Ada-ada saja pertanyaan kau. Cepatlah kau sapu itu biar kita pulang dari pool ini..." Ketus Parlin sambil berlalu meninggalkan Soduon yang tinggal melongo. "Tadi masih baek-baek diajak bicara. Kok, tiba-tiba sewot gitu? Ah, macam-macam saja lae Parlin itu."
Soduon sampai menanyakan soal pencopet karena dia sering dipelototi tukang copet yang naik ke bis mereka. Sebenarnya, Soduon ingin kasih tahu para penumpang bahwa copet mau beraksi. Tapi, dia takut para copet itu mencabut nyawanya yang memang cuma satu.
***
COPET memang menyebalkan.
Kala malam mulai selimuti cakrawala Grogol, langkahku selalu terhenti di halte dekat Citraland. Biasanya, bis yang hendak aku tumpangi 976 (Steady Safe) - Manggarai-Grogol, datangnya selalu lama. Kalo gak salah dengar dari kondektrunya, tiap hari bis ini dioperasikan hanya tiga. Bahkan kadang cuma 2 bis.
Karena terlalu lama menunggu, iseng aja aku suka merhatiin orang-orang di sekitar. Semua serba capek setelah seharian kerja. Pada bis-bis tertentu selalu terlihat rebutan naik. Kadang, penumpang yang mau turun sampai kesulitan keluar. Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan para copet itu. Mereka pura-pura ikut berdesak. Biasanya mereka berkelompok minimal 3 orang.
Anehnya, di dekat situ ada pos bantu polisi. Tapi mereka seakan tidak pernah takut lagi sama aparat yang diharapkan masyarakat ini bisa memberi kenyamanan dan keamanan. Di situ juga aku lihat para "timer" yang selalu memalak setiap bis yang mampir. Aku suka gak habis pikir, apa fungsi dan kontribusi mereka berada di sana. Dibilang untuk mengatur bis atau metromini agar teratur hingga tidak membuat jalanan macet, nyatanya mereka tidak pernah ambil pusing keadaan itu. Ketika mereka sudah dapat uang dari para awak bis, para timer itu langsung pergi mengejar bis yang lain.
Ketika iseng aku bertanya pada seorang bapak yang katanya tiap hari selalu nunggu bis ke arah Cileungsi, kenapa polisi yang ada di situ tidak menindak mereka? - Jawaban si bapak sangat mengejutkan aku. Katanya, para timer itu memberi setoran kepada para bapak aparat kita itu. "Oh, pantes aja di sekitar sini tidak pernah terjadi tawuran para preman berebut lahan. Rupanya sudah dibekingi aparat... Astaghfirullah! Aku cuma masem mendengarnya. Pikiran aku tergelitik;
"Kapan sih bapak Polisi negeri ini dapat diandalkan masyarakat tanpa harus mengeluarkan duit? Bukankah mereka digaji dari uang rakyat, yang notabone telah bayar pajak, baik sebagai wajib pajak maupun dari pajak-pajak lainnya?"
Lamunan sontak buyar. Suara Ames, kondektur 976 yang sudah akrab dengan aku terdengar meneriakkan : "Slipi, Kuningan, Pancoran, Manggarai... Manggarai...!!!"
Aku terdiam duduk dalam bis. Terlalu capek bekerja seharian. Mataku ingin refreshing memandangi lampu hias sepanjang jalan. Bau tempat tidurku mulai kurasakan merasuk sanubari... Selamat malam sopir dan kernet bis... Selamat berlalu malam di Grogol. ***